Scroll untuk baca artikel
BeritaNasionalOpiniPolitik

Membaca Fenomena Dinamika Politik Pilgub Sumsel 2024: Antara Peluang dan Tantangan

×

Membaca Fenomena Dinamika Politik Pilgub Sumsel 2024: Antara Peluang dan Tantangan

Sebarkan artikel ini
Afriantoni (Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan Pemerhati Politik)

OPINI POLITIK

Oleh: Afriantoni (Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan Pemerhati Politik)

PERKEMBANGAN Pilgub Sumsel hari ini sangat dinamis dan penuh dengan ketidakpastian. Setiap Bacagub dan Bacawagub Sumsel harus tetap waspada dan melakukan kalkulasi yang komprehensif, tidak hanya terbawa emosi dan euforia politik semata. Terlalu dini untuk merasa sudah menang dan tak tertandingi atas Bacagub dan Bacawagub Sumsel lainnya adalah sebuah kesalahan strategis.

Secara ilmiah dan kajian akademik, elektabilitas tinggi memang menjadi penanda awal kekuatan politik. Namun, kita bisa mencontoh Pilpres 2024 lalu, ketika nama Ganjar Pranowo yang awalnya memiliki elektabilitas tinggi, akhirnya menempati urutan terakhir pada hasil pilpres. Hal ini menunjukkan bahwa elektabilitas merupakan modal sosial politik yang penting untuk dijadikan instrumen dalam bergerak maju. Namun, jika superioritas yang diutamakan, akan terjadi stagnasi di akar rumput yang menghambat pertumbuhan dukungan.

Karakteristik pemilih di Sumsel yang mudah berubah menambah kompleksitas situasi ini. Perubahan preferensi pemilih dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pragmatisme, ketokohan, penampilan calon, program, model kampanye, gerakan ke masyarakat, atau ideologi perjuangan. Hal ini harus menjadi perhatian utama setiap bakal calon agar tidak terlambat mengantisipasi perubahan tersebut. Dalam konteks ini, memahami dinamika pemilih dan responsif terhadap perubahan adalah kunci untuk tetap relevan dan kompetitif di Pilgub Sumsel 2024.

Berdasarkan pengalaman sepuluh tahun ke belakang, kita dapat melihat contoh dari petahana Alex Noerdin yang dinilai sukses membawa Sumsel ke kancah internasional dengan program pendidikan yang mengakar. Berbeda dengan pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya, yang meskipun berhasil dalam pembangunan jalan dan pemberian dana hibah ke kabupaten/kota, tidak mampu mencapai prestasi setingkat Alex ketika maju kembali berpasangan dengan Ishak Mekki. Prestasi masa lalu ini memberikan pelajaran bahwa keberhasilan dapat menjanjikan kemenangan kembali, namun dalam aspek yang berbeda tidak menjamin kemenangan tanpa strategi yang holistik dan adaptif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Melihat fenomena HD hari ini yang menggandeng Cik Ujang dari Lahat “agak lain” situasinya dengan pasangan Alex-Ishak. CU memenangkan pemilihan dengan kondisi yang “kurang signifikan”, hanya menang dengan 91.031 suara dari 210.037 suara sah pada Pilkada Lahat 2018. Selain itu, klaim terhadap Besemah pun tidak mampu diwakili secara utuh dalam diri CU, selain karena kepemimpinan Cik Ujang di Lahat belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan juga suku Besemah masih luas.

Sedangkan pada saat Alex menggandeng Ishak Mekki terpilih kembali, Ishak Mekki menjadi Bupati OKI kembali dengan menang dengan 190.425 suara dari 486.046 suara pada tahun 2013. Ketokohan Ishak Mekki cukup diperhitungkan, ditambah lagi IM menghadapi tantangan yang berbeda karena mata pilih di OKI termasuk yang terbanyak di Sumsel. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ketokohan dalam mempengaruhi hasil pemilihan.

Fenomena selanjutnya bahwa popularitas HD masih belum ditandingi oleh MY ataupun Heri Amalindo dalam survei. Namun peluang mereka semua masih sama dalam memenangkan pertarungannya. Kelincahan Alex dalam memerintah agak berbeda dengan HD, Alex mampu membangun solidaritas dukungan, sedangkan HD belum begitu kuat. Walaupun dinamika ini lebih disebabkan oleh potensi politik hukum yang dimiliki ketiganya untuk saling adu kekuatan dalam merebut hati rakyat. Fenomena menarik lainnya adalah adanya unsur perempuan sebagai wakil dari pasangan Matahati untuk merebut simpati rakyat. Namun dalam sejarah Pilkada Sumsel pasangan yang menggandeng perempuan belum pernah memperoleh kemenangan. Karena itu, sekuat apapun dan sebaik apapun, pasangan Matahati harus mempertimbangkan kembali aspek kultur masyarakat Sumsel secara luas.

Fenomena selanjutnya, bakal pasangan terakhir yaitu Hapal yang juga memiliki potensi menang yang sama jika masyarakat memiliki pandangan berbeda soal dinamika politik dan kuda hitam yang diharapkan. Untuk bakal pasangan Hapal, maka perhitungannya harus lebih kalkulatif dan strategis agar tidak ditinggalkan oleh basis pendukung seperti masyarakat PALI. Indikator penerimaan masyarakat PALI menjadi cermin pertama untuk menimbang dan melangkah maju ke depan. Walaupun pada akhirnya pasangan ini masuk ke arena Pilkada Sumsel, mereka tetap harus memikirkan ulang soal ketokohan, biaya, dan strategi lainnya. Namun, jika tidak, posisi pasangan ini akan mengalami stagnasi. Hingga kini, pasangan ini menanti “keajaiban” yang luar biasa untuk berlabuh dalam kontestasi dengan pertimbangan-pertimbangan spesifik.

Membaca fenomena yang berkembang menjelang pendaftaran Bacagub dan Bacawagub pada Pilgub Sumsel 2024 menunjukkan bahwa medan politik masih sangat terbuka dan dinamis. Masing-masing bakal pasangan calon harus berhati-hati dalam kalkulasi dan strategi politik mereka, tidak hanya terbawa oleh euforia imajinasi kemenangan. Sebab karakteristik pemilih Sumsel mudah berubah dan memiliki keunikan masing-masing wilayah yang harus diperhatikan. Setiap bakal pasangan calon harus terus bergerak maju dan memperhatikan dinamika akar rumput agar tidak mengalami stagnasi dan tetap relevan dalam persaingan politik yang ketat ini. **