OPINI
Oleh: Sandi Pusaka Herman (Pemimpin Redaksi Tribunepos.com)
TRIBUNEPOS.COM – Di tengah geliat politik tambang, ada hal yang patut diwaspadai oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Rezim saat ini tampaknya mencoba mengumpankan dua ormas besar ini kepada rakyat, hanya dengan suap receh berupa konsesi tambang 5 tahunan.
Langkah ini bukan sekadar sebuah insentif, melainkan upaya menjadikan Muhammadiyah dan NU sebagai tameng bagi kerusakan tata kelola tambang yang dilakukan rezim, sekaligus menutupi kerakusan oligarki tambang di negeri ini.
Muhammadiyah dan NU di bawah rezim berpotensi dijadikan keset. Mereka akan menjadi sasaran kemarahan rakyat ketika tambang-tambang itu mulai menimbulkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial. Pada akhirnya, meski menikmati secuil kue tambang, kedua ormas ini akan menggadaikan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar mereka.
Lidah Muhammadiyah dan NU bisa jadi kelu jika disumpal dengan suap duit tambang. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang berasal dari eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tidak seharusnya dikelola oleh individu, swasta, asing, maupun ormas.
Tambang dengan deposit melimpah ini tergolong milik umum (Al Milkiyatul Ammah) dan hanya boleh dikelola oleh negara sebagai wakil umat, yang manfaatnya dikembalikan kepada seluruh umat.
Tidak hanya terbatas pada tambang batubara, namun mencakup semua jenis tambang, baik emas, perak, nikel, migas, dan lain-lain, baik yang berada di permukaan bumi (onshore) maupun di perut bumi (offshore).
Pengelolaan tambang oleh individu, swasta, korporasi, asing, dan aseng adalah praktik tata kelola tambang yang sekuler dan kapitalistik.
Praktik ini hanya akan membuat barang tambang milik umum dikuasai secara privat, manfaatnya berpindah kepada individu atau korporasi, sementara rakyat hanya kebagian residu berupa kerusakan lingkungan, bencana alam, ketimpangan ekonomi, dan sosial.
Dalam pandangan Islam, hanya negara yang diberi hak syar’i untuk mengelola tambang. Individu, swasta, korporasi, hingga ormas tidak boleh mengelola tambang.
Muhammadiyah keliru ketika ikut serta dengan PBNU dalam mengelola tambang, karena keduanya tidak memiliki hak syar’i untuk itu.
Hanya negara yang punya hak, dan manfaatnya harus dibagikan kepada seluruh rakyat, bukan hanya kepada warga NU atau Muhammadiyah.
Semestinya, Muhammadiyah dan NU mendorong agar WIUPK dari eks PKP2B diserahkan kepada BUMN sebagai badan usaha milik negara, yang hasilnya akan menopang APBN untuk melayani kepentingan seluruh rakyat.
Bukan hanya WIUPK dari eks PKP2B, tetapi seluruh konsesi dan izin tambang lainnya, baik batubara, emas, perak, nikel, migas, maupun jenis tambang lainnya, harus dikelola oleh BUMN.
Bukan dikelola Bumi Resourches, PT Kaltim Prima Coal, PT Toba Group Energy, PT Jholin Group, PT Adaro Group, PT Freeport, perusahan China, dan perusahan swasta lainnya.
Semua hasil tambang itu masuk sebagai sumber pemasukan APBN. Bukan hanya membuat kaya raya oligarki tambang, sementara APBN di negeri ini diambil dari memalak pajak rakyat.
Tambang itu milik umum, seperti laut, sungai, hutan. Tak boleh ada laut dikuasai ormas. Tak boleh ada hutan dikuasai ormas. Tak boleh ada sungai dikuasai oleh ormas. Semua harus dikelola negara, dan manfaatnya dibagikan kepada seluruh rakyat, bukan hanya untuk PBNU dan Muhammadiyah. (*)