Scroll untuk baca artikel
ArtikelBeritaPendidikanSejarah

Pantangan Bangsa Jawa & Tewasnya Trunojoyo: Antara Harga Diri dan Kekuasaan

×

Pantangan Bangsa Jawa & Tewasnya Trunojoyo: Antara Harga Diri dan Kekuasaan

Sebarkan artikel ini

TRIBUNEPOS.COM – Dalam sejarah Jawa, nama Trunojoyo sering disandingkan dengan tokoh-tokoh besar seperti Ranggalawe dan Aria Wiraraja, dua pahlawan Madura yang dianggap sebagai ancaman bagi kestabilan kekuasaan raja-raja Jawa.

Trunojoyo, seorang putra Madura yang gigih, menjadi sosok yang ditakuti oleh para penguasa Jawa pada masa itu.

Bagaimanapun juga, dalam pandangan tradisional Jawa, seseorang yang bukan berdarah Jawa dan berani menduduki tahta dianggap sebagai sebuah aib yang tak termaafkan.

Maka, dengan segala cara, Trunojoyo harus dilenyapkan demi harga diri bangsa Jawa.

Sejarah mencatat, Trunojoyo bukanlah pemberontak pertama dari Madura. Sebelum dirinya, Ranggalawe dan Aria Wiraraja telah melakukan perlawanan serupa.

Namun, pemberontakan Trunojoyo menjadi lebih berbahaya karena ia berhasil merebut Keraton Mataram dan memaksa Amangkurat I, Raja Mataram saat itu, melarikan diri hingga wafat dalam pelarian di Tegal.

Amangkurat II, putra mahkota yang kemudian menggantikan ayahnya, menyadari ancaman serius yang dihadapi oleh kekuasaan Jawa.

Bangsa Jawa saat itu tengah berada dalam cengkeraman kekuatan asing yang bersekutu dengan pemberontak dari Madura, Makassar, serta Sunda (Cirebon dan Banten).

Melihat situasi yang semakin genting, Amangkurat II memutuskan untuk menjalin aliansi dengan VOC, sebuah langkah yang pada akhirnya membawa dampak besar bagi Mataram.

Kemitraan dengan VOC memang membuahkan hasil yang signifikan. Meski harus menyerahkan beberapa wilayah kepada VOC, namun kekuasaan atas tanah Jawa tetap berada di tangan raja yang berdarah Jawa.

Trunojoyo, yang berpotensi menjadi raja jika pemberontakannya berhasil, akhirnya ditangkap. Kemenangan VOC dan Amangkurat II memastikan bahwa tahta Jawa tidak jatuh ke tangan orang Madura, Makassar, atau Sunda.

Catatan kolonial mengungkapkan bahwa VOC awalnya berencana memanfaatkan Trunojoyo. Setelah ditangkap, ia diperlakukan dengan hormat layaknya seorang raja.

Namun, Amangkurat II tidak lengah. Ia menyadari potensi ancaman yang masih bisa ditimbulkan oleh Trunojoyo. Karena itu, Amangkurat II mengambil langkah drastis.

Pada 2 Januari 1680, di sebuah desa bernama Payak, Jawa Timur, Trunojoyo tewas di tangan Amangkurat II.

Raja muda itu sendiri yang menancapkan keris ke tubuh Trunojoyo, mengakhiri riwayat salah satu pemberontak paling legendaris dalam sejarah Jawa.

Kematian Trunojoyo menjadi simbol betapa kuatnya pantangan dalam budaya Jawa: tak ada tempat bagi orang luar untuk memerintah di tanah Jawa.

Harga diri dan kekuasaan bangsa Jawa dipertahankan dengan darah, tak peduli seberapa kuat musuh yang harus dihadapi. (*)

Oleh: Sandi Pusaka Herman (Pemimpin Redaksi Tribunepos.com)

 

Jadilah bagian dari perjuangan Tribunepos, bangun Indonesia dengan Literasi!