PALEMBANG, TRIBUNEPOS.COM – Krisis kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu kembali mencuat seiring dengan diselenggarakannya sidang oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kantor KPU Sumatera Selatan, yang memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) oleh Ketua dan Anggota Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Sidang ini terkait dengan perkara Nomor 125-PKE-DKPP/VII/2024, yang menempatkan Ketua Bawaslu Sumsel, Kurniawan, serta empat anggotanya, Ahmad Naafi, Muhammad Sarkani, Massuryati, dan Ardiyanto, di kursi teradu.
Mereka diduga tidak menindaklanjuti laporan mengenai dugaan praktik politik uang yang melibatkan sejumlah calon legislatif (Caleg) pada Pemilu 2024, sebuah tuduhan yang berpotensi merusak kredibilitas institusi tersebut.
Menurut pengadu, Idadi Dadang, yang diwakili oleh tim kuasa hukum yang dipimpin oleh Iswadi Idris SH, laporan mengenai dugaan politik uang ini tidak direspon dengan tindakan yang seharusnya oleh Bawaslu Sumsel.
Idadi menuduh Sentra Gakkumdu Provinsi Sumsel, yang berada di bawah kendali para teradu, tidak melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terlapor, meski undangan klarifikasi telah dikirimkan.
Hal ini dinilai sebagai bentuk ketidakprofesionalan dan kelalaian yang serius dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.
“Laporan dihentikan hanya karena para terlapor tidak hadir dalam undangan klarifikasi. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kesungguhan dari Gakkumdu dalam menangani laporan ini, seolah-olah hanya menunggu waktu penanganan habis,” ungkap Iswadi dengan nada tegas dalam persidangan, Senin (12/8/24).
Laporan yang disampaikan Idadi menyoroti dugaan politik uang yang dilakukan oleh tiga Caleg Partai Gerindra: KSD (Caleg DPR), PS (Caleg DPRD Provinsi Sumsel), dan MR (Caleg DPRD Kota Palembang).
Ketiga caleg ini diduga membagikan uang melalui seorang perantara bernama Didis kepada masyarakat, tepat pada masa tenang Pemilu 2024.
Laporan ini disampaikan pada 20 Februari 2024, namun penanganannya terhambat karena ketidakhadiran terlapor dalam proses klarifikasi, kecuali Muhammad Ridho, yang hadir pada 5 Maret 2024.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/Pengadu-125-1080x720-1.jpg)
Kurniawan, Ketua Bawaslu Sumsel, mengakui bahwa undangan klarifikasi telah dikirimkan dua kali kepada terlapor.
Namun, ia menegaskan bahwa berdasarkan Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2022, proses penanganan laporan tetap dapat dilanjutkan meskipun pihak terlapor tidak menghadiri klarifikasi.
Sentra Gakkumdu, lanjut Kurniawan, telah melakukan kajian akhir yang menyimpulkan bahwa dugaan praktik politik uang tersebut tidak terbukti dan belum memenuhi unsur pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 523 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius terkait independensi dan kesungguhan Bawaslu dalam menegakkan aturan pemilu.
Kritik keras datang dari pengadu dan masyarakat yang menilai bahwa alasan ketidakhadiran terlapor tidak cukup untuk menghentikan proses hukum, terlebih lagi dalam kasus yang melibatkan pelanggaran serius seperti politik uang.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Muhammad Tio Aliansyah, dengan dua anggota majelis, Elia Susilawati dari unsur masyarakat dan H. Nurul Mubarok dari unsur KPU, berpotensi menjadi titik balik bagi Bawaslu Sumsel.
Apakah lembaga ini mampu membuktikan integritasnya, atau justru akan terjerumus dalam krisis kepercayaan yang lebih dalam?
Jawabannya masih menunggu putusan DKPP mendatang yang diharapkan bisa memberikan kejelasan dan keadilan bagi semua pihak.
Kasus ini tidak hanya berdampak pada Bawaslu Sumsel, tetapi juga mempengaruhi persepsi publik terhadap keadilan dan transparansi dalam proses pemilu di Indonesia, yang seharusnya bebas dari intervensi dan manipulasi.
Bagi masyarakat, hasil dari sidang ini akan menjadi tolok ukur sejauh mana lembaga penyelenggara pemilu bisa dipercaya untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan adil, terutama dalam menjaga integritas pemilu yang merupakan pilar demokrasi.
Jika terbukti lalai, kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi Bawaslu di wilayah lain dan berpotensi memicu tuntutan untuk reformasi menyeluruh dalam penanganan kasus-kasus serupa di masa depan. (*)
Jadilah bagian dari perjuangan Tribunepos, bangun Indonesia dengan Literasi!