Ada Apa dengan Penyelenggara Pemilu di Sumsel?
OPINI
Oleh: Sandi Pusaka Herman (SPH)
Pemimpin Redaksi Tribunepos.com
PALEMBANG, TRIBUNEPOS.COM – Fantastis, Sumatera Selatan kini menjadi pusat perhatian dengan mencatatkan diri sebagai provinsi kedua terbanyak yang melaporkan penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dari 38 provinsi, Sumsel mencatatkan 32 pelaporan, jumlah yang hampir dua kali lipat dari jumlah kabupaten/kota yang ada di provinsi ini.
Data ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan tentang kinerja penyelenggara pemilu di Sumsel.
Ada apa dengan KPU dan Bawaslu di provinsi ini? Kenapa begitu banyak laporan yang masuk, bahkan mengalahkan provinsi lain dengan jumlah penduduk lebih besar?
Angka ini jelas menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu di Sumatera Selatan sedang tidak baik-baik saja.
Ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga soal kepercayaan publik yang tergerus.
Bukan hanya itu, angka 32 pelaporan ini diperkirakan masih akan bertambah. Beberapa laporan lainnya masih dalam proses dan belum masuk ke DKPP.
Jika tren ini berlanjut, Sumatera Selatan mungkin akan memecahkan rekor pengaduan terbanyak dalam sejarah DKPP.
Situasi ini menjadi alarm serius bagi KPU dan Bawaslu di Sumsel.
Tidak menutup kemungkinan akan ada putusan keras dari DKPP, mulai dari peringatan hingga pemecatan (PAW) bagi anggota yang terbukti bersalah.
Jika benar terjadi, ini akan menjadi sejarah kelam bagi penyelenggara pemilu di Sumatera Selatan.
Kita harus waspada, kasus ini bisa berdampak luas, bukan hanya bagi kredibilitas KPU dan Bawaslu, tapi juga terhadap pelaksanaan Pemilihan Serentak 2024 di depan mata.
Pengaduan Menumpuk, Ada Apa dengan Penyelenggara Pemilu di Sumsel?
Sumatera Selatan baru saja menorehkan catatan yang tidak begitu membanggakan dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Berdasarkan data terbaru, provinsi ini tercatat sebagai wilayah kedua dengan jumlah pengaduan terbanyak yang dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sebanyak 32 pengaduan resmi masuk, menjadikan Sumsel hanya berada di bawah Sumatera Utara yang mencatatkan 45 pengaduan.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa jumlah pengaduan ini hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota di provinsi ini, yang hanya 17.
Pertanyaannya sekarang, apa yang sebenarnya terjadi dengan KPU dan Bawaslu di Sumatera Selatan?
Apakah memang ada masalah sistemik dalam penyelenggaraan pemilu di provinsi ini?
Ataukah ini hanya gejala ketidakpuasan masyarakat yang semakin meningkat terhadap kinerja para penyelenggara pemilu?
Penyelenggara Pemilu di Ujung Tanduk?
Pengaduan sebanyak ini jelas menunjukkan ada yang tidak beres dalam pelaksanaan tugas KPU dan Bawaslu di Sumsel.
Menjadi penyelenggara pemilu di Indonesia adalah tugas yang berat, penuh tekanan, dan membutuhkan integritas serta profesionalisme yang tinggi.
Ketika jumlah pengaduan menumpuk hingga mencapai angka yang signifikan seperti ini, ada dua kemungkinan yang bisa dipertimbangkan:
Pertama, mungkin ada masalah mendasar dalam sistem dan prosedur yang diikuti oleh para penyelenggara pemilu di tingkat provinsi.
Kedua, bisa jadi ada persoalan individu yang berhubungan dengan perilaku tidak etis atau kurang profesional dari beberapa anggota penyelenggara pemilu.
Tidak bisa dipungkiri, pengaduan-pengaduan ini menandakan bahwa ada sejumlah masyarakat yang merasa dirugikan atau tidak puas dengan proses pemilu yang berjalan.
Dalam konteks ini, DKPP menjadi garda terakhir dalam memastikan bahwa setiap pengaduan diusut tuntas, dan mereka yang terbukti bersalah akan mendapat sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Dampak yang Tidak Bisa Diabaikan
Angka 32 pengaduan ini masih bisa bertambah, mengingat beberapa laporan lainnya masih dalam proses dan belum resmi tercatat.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Sumatera Selatan berisiko menghadapi konsekuensi serius, termasuk sanksi keras dari DKPP yang bisa berujung pada Pemberhentian Antar Waktu (PAW) bagi anggota KPU atau Bawaslu yang dinyatakan bersalah dalam persidangan etik.
Ini bukan sekadar spekulasi, melainkan kemungkinan nyata yang sudah menjadi pembicaraan di kalangan pengamat, aktivis dan pegiat demokrasi di Sumsel.
Jika anggota KPU atau Bawaslu sampai di-PAW, ini tentu akan mengguncang stabilitas penyelenggaraan pemilu di Sumsel.
Efek domino dari putusan ini bisa merusak kepercayaan publik yang sudah rapuh, memicu protes dari berbagai kalangan, dan yang paling berbahaya adalah berpotensi mengganggu proses pemilu serentak yang tinggal hitungan bulan.
Menakar Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik adalah modal utama bagi kelancaran setiap proses demokrasi.
Ketika kepercayaan ini mulai terkikis, bukan hanya penyelenggara pemilu yang akan menghadapi masalah, tetapi juga seluruh sistem demokrasi yang kita junjung.
Banyaknya pengaduan yang masuk ke DKPP dapat dilihat sebagai cerminan dari ketidakpuasan masyarakat yang mungkin sudah lama terpendam.
Masyarakat menginginkan proses pemilu yang jujur, adil, dan bebas dari praktik-praktik curang, dan ketika mereka merasa tidak mendapatkan itu, pengaduan menjadi jalan terakhir untuk menuntut keadilan.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua pengaduan berarti penyelenggara pemilu bersalah.
DKPP tetap harus menjalankan tugasnya dengan teliti dan hati-hati dalam menilai setiap kasus.
Bagaimanapun, penyelenggara pemilu adalah manusia biasa yang bisa saja membuat kesalahan, tetapi kesalahan itu harus dipilah antara yang disebabkan oleh faktor teknis dan yang berakar pada perilaku tidak etis atau sengaja melanggar hukum.
Apa yang Harus Dilakukan?
Dalam situasi seperti ini, semua pihak harus melakukan refleksi mendalam. KPU dan Bawaslu di Sumatera Selatan perlu segera melakukan evaluasi internal yang serius.
Jika ada kekurangan dalam sistem atau prosedur, perbaikan harus segera dilakukan. Jika ada oknum yang tidak berintegritas, tindakan tegas harus diambil.
Selain itu, komunikasi yang lebih baik dengan publik juga harus ditingkatkan. Penyelenggara pemilu harus lebih transparan dalam proses mereka, dan lebih responsif terhadap keluhan serta masukan dari masyarakat.
Dengan begitu, kepercayaan yang mungkin sudah mulai pudar bisa dipulihkan, dan pelaksanaan Pemilu 2024 bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.
Pilkada 2024, Menjaga Kejujuran dan Integritas
Jika pengaduan-pengaduan ini tidak segera ditangani dengan baik, kita mungkin akan melihat dampak negatif yang lebih luas.
Penyelenggara pemilu yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi bisa kehilangan legitimasi, dan proses Pilkada bisa berujung pada kekacauan.
Sumatera Selatan masih punya waktu untuk berbenah, namun waktunya tidak banyak. Evaluasi menyeluruh, tindakan tegas, dan komitmen untuk menjaga integritas adalah kunci agar provinsi ini bisa melewati badai pengaduan dan tetap menjaga kepercayaan publik pada Pemilihan Serentak 2024 yang akan datang.
Peringkat Laporan Terbanyak dan Paling Sedikit
Berdasarkan data terbaru, sebanyak 32 pengaduan terkait pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari Sumatera Selatan telah masuk ke meja DKPP.
Provinsi ini berbagi peringkat dengan Sumatera Utara yang juga mencatatkan jumlah pengaduan yang sama, masing-masing menyumbang 7,64% dari total aduan yang diterima DKPP.
Sumatera Utara berada di posisi puncak dengan 45 pengaduan, menyumbang 10,74% dari total pengaduan yang masuk.
Sementara itu, di posisi ketiga, Jawa Barat juga mencatatkan 32 pengaduan, sama seperti Sumsel dan Sumut, meski dalam proporsi yang berbeda.
Jumlah pengaduan yang tinggi ini menjadi lampu merah bagi kualitas penyelenggaraan pemilu di Sumatera Selatan.
Tingginya angka pengaduan ini harus menjadi perhatian serius bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat daerah.
Tak bisa dipungkiri, ketegangan antara KPU dan Bawaslu di berbagai daerah, termasuk Sumatera Selatan, menjadi salah satu pemicu tingginya jumlah pengaduan.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, konflik antara kedua lembaga ini di Ogan Ilir bahkan sempat menjadi sorotan publik.
Harus ada pembenahan menyeluruh dalam penyelenggaraan pemilu. Bukan hanya di level teknis, tetapi juga dari segi integritas para penyelenggara.
Data ini juga mengungkap beberapa provinsi lain dengan jumlah pengaduan yang tinggi.
Di antaranya adalah Papua Pegunungan dengan 27 pengaduan (6,44%), Jawa Timur dengan 26 pengaduan (6,21%), serta Papua Tengah yang mencatatkan 17 pengaduan (4,06%).
Dengan gelombang pengaduan yang terus berdatangan, DKPP diharapkan dapat bekerja dengan lebih efektif dalam menangani setiap kasus yang masuk, demi menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 yang sedang berjalan di depan mata.
Kondisi ini sekaligus menjadi pengingat bahwa penyelenggara pemilu di daerah-daerah harus semakin waspada dan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugas mereka, agar tidak tersandung dalam pelanggaran yang dapat merusak proses demokrasi di negeri ini. (*)