OPINI
Oleh: Sandi Pusaka Herman (SPH)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tribunepos.com
TRIBUNEPOS.COM – Menjelang penyerahan tampuk pemerintahan kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto pada Oktober 2024, Presiden Joko Widodo menghadapi tantangan besar dalam sisa masa jabatannya.
Di tengah persiapan serah terima kekuasaan, dua ancaman ekonomi mengintai, yaitu defisit transaksi berjalan yang semakin membengkak dan menipisnya surplus investasi langsung.
Berdasarkan laporan Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2024, kondisi perekonomian terlihat kurang menggembirakan.
Meskipun defisit NPI berkurang menjadi US$600 juta dari US$6 miliar pada kuartal I-2024, dua “hantu” besar masih membayangi.
Defisit transaksi berjalan dan menurunnya surplus investasi langsung memperlihatkan gejala yang mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional.
Defisit Transaksi Berjalan Terparah Sejak 2020
Defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2024 tercatat sebesar US$3,02 miliar, meningkat dari kuartal sebelumnya yang berada di angka US$2,41 miliar.
Defisit ini merupakan yang terparah sejak kuartal I-2020, sekaligus memperpanjang tren negatif selama lima kuartal berturut-turut sejak kuartal II-2023.
Peningkatan defisit ini terjadi di tengah meredupnya momentum commodity boom dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang belum stabil.
Sejak awal masa kepemimpinan Jokowi pada kuartal IV-2014 hingga kuartal II-2024, transaksi berjalan Indonesia lebih sering berada di zona merah.
Hanya pada beberapa kuartal tertentu, seperti kuartal III-IV 2020, kuartal III-IV 2021, kuartal I-IV 2022, dan kuartal I-2023, defisit dapat ditekan atau bahkan mencatat surplus.
Namun, pencapaian ini lebih banyak didorong oleh faktor eksternal, seperti booming komoditas dan penurunan impor selama pandemi.
Booming komoditas yang terjadi pada 2021-2022, didorong oleh pemulihan ekonomi global pasca-pandemi dan konflik Rusia-Ukraina, sempat memberikan angin segar bagi perekonomian Indonesia.
Harga batu bara dan crude palm oil (CPO) melonjak ke level tertinggi, menguntungkan Indonesia sebagai salah satu produsen utama. Namun, momentum tersebut perlahan menghilang, meninggalkan Indonesia kembali terjebak dalam defisit transaksi berjalan.
Surplus Investasi Langsung Menipis, Kapital Mengalir Keluar Negeri
Di sisi lain, investasi langsung masih membukukan surplus, mencerminkan optimisme investor terhadap prospek ekonomi dan iklim investasi domestik.
Namun, surplus yang tercatat sebesar US$1,38 miliar pada kuartal II-2024 menunjukkan penurunan signifikan, yang menjadi yang terendah sejak kuartal III-2020.
Penurunan ini mengindikasikan adanya peningkatan arus keluar neto dari sisi aset, di mana warga Indonesia semakin banyak berinvestasi di luar negeri.
Tren ini mulai terlihat sejak kuartal IV-2020, dengan mayoritas investasi dilakukan melalui instrumen utang.
Jika tren ini berlanjut, maka semakin sedikit kapital yang tersisa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Situasi ini diperparah oleh menurunnya minat investasi di Indonesia, terutama dari investor asing yang biasanya menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi.
Surplus pada sisi kewajiban investasi langsung, yang mencerminkan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia, terus menurun.
Hal ini mengkhawatirkan, mengingat investasi langsung sering kali dianggap sebagai indikator kepercayaan investor jangka panjang terhadap perekonomian suatu negara.
Dengan perekonomian global dan domestik yang tak kunjung membaik, tantangan bagi pemerintahan selanjutnya semakin besar.
Ketika investasi lebih banyak mengalir ke luar negeri, roda perekonomian di dalam negeri akan semakin sulit bergerak, apalagi tumbuh sesuai dengan target pemerintah.
Pada akhirnya, dua “hantu besar” ini bisa menjadi warisan yang berat bagi pemerintahan Prabowo Subianto.
Di tengah masa transisi ini, langkah-langkah strategis diperlukan untuk mencegah dampak buruk yang lebih besar bagi perekonomian nasional. (**)