Oleh: Sandi Pusaka Herman
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tribunepos.com
PAJAK, sebuah kata yang sering kali disambut dengan rasa enggan oleh rakyat dan perusahaan. Namun, ia tak ubahnya nafas bagi roda pemerintahan.
Pajak adalah iuran yang dibebankan kepada rakyat berdasarkan undang-undang, sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar.
Tanpa ada janji imbalan langsung, rakyat membayar dengan harapan infrastruktur, fasilitas umum, dan layanan pemerintahan dapat berjalan tanpa hambatan.
Dari jalanan yang mulus hingga sekolah-sekolah yang berdiri kokoh, semua berkat dana pajak yang terus mengalir.
Rumah ibadah, gedung pemerintah, dan berbagai sarana umum lainnya juga menjadi saksi bisu dari sumbangan tak kasat mata yang diberikan oleh rakyat.
Pemerintah kemudian mengalokasikan dana ini untuk membiayai pengeluaran, dari gaji pegawai negeri hingga pemeliharaan fasilitas publik.
Namun, bagi sebagian orang, terutama pengusaha, pajak adalah beban. Pajak mengurangi keuntungan, mempersempit ruang gerak, dan dalam beberapa kasus, membuat perusahaan harus merogoh kocek lebih dalam demi memenuhi kewajiban ini.
Tak hanya pengusaha, beban ini dirasakan pula oleh rakyat kecil yang harus membayar pajak meski pendapatan mereka pas-pasan.
Sanksi yang keras menanti siapa pun yang lalai membayar, membuat pajak menjadi momok yang tak terhindarkan.
Ironisnya, meski dianggap sebagai beban, membayar pajak sejatinya merupakan hak setiap warga negara.
Ini adalah cara untuk ikut serta dalam pembiayaan negara dan menyokong pembangunan nasional.
Sebuah kontribusi yang, meski tak berbalas secara langsung, diharapkan mampu menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan bagi negeri.
Namun, pertanyaan pun muncul: apakah rakyat sudah menerima cukup dari pajak yang mereka bayarkan? Infrastruktur yang tak merata, layanan publik yang kerap kali mengecewakan, dan korupsi yang masih membayangi, menjadi batu sandungan.
Bagi sebagian, pajak bukan lagi simbol partisipasi, melainkan beban yang makin menekan. **