PALEMBANG, TRIBUNEPOS.COM – Wacana kerjasama pengelolaan lahan Rumah Sakit Siti Fatimah (RS Siti Fatimah) melalui skema Build Operate Transfer (BOT) dengan Lippo Group mulai menuai sorotan tajam.
Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K MAKI) mencium adanya dugaan kepentingan bisnis dalam rencana tersebut, yang diduga diinisiasi oleh seorang petinggi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Wacana ini mengundang tanda tanya besar. Mengapa lahan RS yang telah menjadi aset penting bagi masyarakat Sumsel hendak dikerjasamakan dengan pihak swasta?
Apakah langkah ini benar-benar demi pengembangan rumah sakit, atau ada agenda lain di baliknya?
Bony Balitong, Ketua K MAKI, dalam siaran persnya mempertanyakan urgensi kerjasama tersebut.
“Renja, Renstra, dan master plan untuk lahan RS Siti Fatimah telah menghabiskan dana miliaran rupiah. Lahan itu merupakan aset negara yang tidak bisa sembarangan dialihkan,” tegasnya.
Bony juga menilai tidak ada kebutuhan mendesak untuk bermitra dengan pihak swasta dalam pengembangan RS Siti Fatimah.
Deputy K MAKI, Feri Kurniawan, mengungkapkan kekhawatirannya terkait aroma bisnis yang tercium di balik rencana ini.
Ia bahkan mewanti-wanti adanya potensi tindak pidana korupsi jika kerjasama ini dipaksakan oleh Kemendagri dan Penjabat (PJ) Gubernur Sumatera Selatan, Ellen.
“Direksi RS Fatimah dan Dinas PU Perkim bisa terancam dijerat kasus korupsi karena dana yang sudah dikeluarkan untuk masterplan akan sia-sia akibat kerjasama ini,” papar Feri.
Feri menyebutkan, dana yang telah dihabiskan untuk berbagai perencanaan dan pengembangan RS Siti Fatimah mencapai hampir Rp30 miliar.
Jika kerjasama ini tetap dilanjutkan, seluruh upaya tersebut akan mubazir.
“Ini bukan hanya soal bisnis, ini tentang uang negara yang berisiko hilang tanpa hasil,” tegasnya.
Lebih jauh, Bony Balitong menuding adanya dugaan keterlibatan oknum di Kemendagri yang memiliki kepentingan bisnis di Sumsel.
“Masyarakat Sumsel harus waspada. Jika lahan RS Fatimah dikuasai konglomerasi, layanan kesehatan yang selama ini bisa diakses oleh masyarakat bawah bisa hilang,” katanya.
Bony menutup pernyataannya dengan mengingatkan, bahwa tak ada jaminan BOT akan membawa manfaat bagi Pemprov Sumsel.
Seorang mantan pejabat tinggi Pemprov yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan pesimisme serupa.
“Tidak ada BOT yang menguntungkan Pemerintah Daerah. Lihat saja lahan Palembang Square, keuntungan yang didapat Pemprov sangat kecil, sedangkan aset beralih ke pihak ketiga,” ujarnya.
Rencana BOT lahan RS Siti Fatimah ini tampaknya akan menjadi polemik panjang di tengah masyarakat Sumsel.
Apakah rencana tersebut murni untuk kepentingan pembangunan, atau ada agenda tersembunyi di baliknya?
Jawaban atas pertanyaan ini masih menunggu waktu. Namun, K MAKI dan sejumlah pihak telah menyuarakan agar rencana ini ditinjau kembali, demi menjaga kepentingan publik yang lebih luas. ***