PALEMBANG, TRIBUNEPOS.COM – Sebagai bangsa yang kaya akan nilai-nilai agama dan budaya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Menjelang Pilkada serentak pada 27 November 2024, integrasi nilai-nilai akuntansi syariah dalam tata kelola anggaran daerah menjadi isu yang semakin relevan.
Menurut Dr. Peny Cahaya Azwari, akademisi dan peneliti dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, penerapan Shariah Enterprise Theory (SET) dapat menjadi solusi efektif untuk menghadirkan tata kelola keuangan daerah yang berpihak pada masyarakat luas.
“Nilai-nilai syariah bukan hanya berbicara tentang prinsip-prinsip moral, tetapi juga memberikan kerangka praktis untuk memastikan anggaran digunakan secara adil, transparan, dan bertanggung jawab,” jelasnya.
Prinsip Keadilan: Kunci Pemerataan Anggaran
Salah satu pilar utama akuntansi syariah adalah prinsip keadilan (ʿAdalah). Dalam pengelolaan keuangan daerah, keadilan ini tercermin dari alokasi anggaran yang merata dan memperhatikan kebutuhan semua lapisan masyarakat.
“Pemerataan bukan hanya retorika, tetapi mandat yang jelas dalam Al-Qur’an, seperti yang tertuang dalam Surat An-Nisa Ayat 58. Keadilan dalam pengelolaan anggaran memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang terabaikan, terutama mereka yang berada di wilayah terpencil,” ungkap Dr. Peny.
Dengan pendekatan ini, visi pembangunan dapat mencakup semua kalangan, dari kota besar hingga pedesaan.
Transparansi dan Akuntabilitas: Membuka Jendela Informasi Publik
Di era digital, transparansi dalam pengelolaan anggaran bukan lagi pilihan, tetapi kewajiban. Dr. Peny menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi seperti e-budgeting untuk memberikan akses real-time kepada masyarakat terkait alokasi anggaran dan penggunaannya.
“Transparansi tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik, tetapi juga mencegah penyalahgunaan anggaran. Dengan informasi yang jelas dan terbuka, masyarakat dapat lebih mudah berpartisipasi dalam pengawasan,” tambahnya.
Dr. Peny juga menekankan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan sebagai bagian dari nilai akuntansi syariah. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, menurutnya, tidak cukup.
“Prinsip syariah mengajarkan keseimbangan dalam memanfaatkan sumber daya alam, seperti yang tercantum dalam Surat Al-A’raf Ayat 31.
Dengan memperhatikan dampak lingkungan dan sosial, kita dapat menciptakan kebijakan anggaran yang berorientasi pada keberlanjutan,” jelasnya.
Penyusunan Anggaran Partisipatif: Suara Masyarakat, Cermin Keadilan
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran menjadi elemen penting dalam pendekatan berbasis syariah. Dengan melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dapat lebih memahami kebutuhan mendasar rakyatnya.
“Proses penyusunan anggaran harus mencerminkan aspirasi masyarakat, bukan hanya keputusan sepihak. Sistem ini mendukung prinsip keadilan dan transparansi, memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar menjawab kebutuhan rakyat,” tegas Dr. Peny.
Pemerintah daerah, menurut Dr. Peny, harus berbasis pada data valid untuk menentukan prioritas anggaran. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2022, sekitar 9,54% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
“Analisis data yang akurat menjadi kunci untuk mengalokasikan dana ke sektor yang paling membutuhkan, seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kita dapat memastikan bahwa setiap kebijakan benar-benar berdampak positif,” tambahnya.
Tanggung Jawab Sosial: Dari Angka ke Manfaat Nyata
Tanggung jawab sosial adalah elemen integral dalam akuntansi syariah. Dalam konteks APBD, hal ini berarti memprioritaskan program yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama kelompok rentan.
“Surat Al-Baqarah Ayat 177 mengajarkan kita untuk mengutamakan kontribusi sosial. Prinsip ini harus menjadi panduan dalam setiap kebijakan anggaran, sehingga pembangunan benar-benar inklusif,” tuturnya.
Integrasi nilai-nilai akuntansi syariah menawarkan pendekatan yang tidak hanya inovatif tetapi juga relevan dengan kebutuhan zaman. Dengan mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial, tata kelola keuangan daerah dapat menjadi lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
“Penerapan nilai-nilai ini juga menjadi benteng melawan praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Ini bukan hanya tentang mengelola anggaran, tetapi juga membangun kepercayaan dan menciptakan warisan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang,” pungkas Dr. Peny.
Langkah integratif ini memberikan harapan baru untuk tata kelola keuangan daerah yang lebih berkeadilan, transparan, dan inklusif, serta memastikan pembangunan yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat. **