Scroll untuk baca artikel
BanyuasinBeritaBerita UtamaHMIHukum & KriminalKAHMINasionalPolitikSumsel

Dilaporkan Karena Pukul Staf Kantor, Anggota Bawaslu Banyuasin Akan Disidang DKPP Selasa Besok, Pengamat Hukum: Berhentikan!

×

Dilaporkan Karena Pukul Staf Kantor, Anggota Bawaslu Banyuasin Akan Disidang DKPP Selasa Besok, Pengamat Hukum: Berhentikan!

Sebarkan artikel ini
Hadi Susanto-pengadu-korban (kiri), Raden Zakaria-teradu-pelaku (kanan). -Dok. Tribunepos.umbaran.com

BANYUASIN, TRIBUNEPOS.COM – Anggota Bawaslu Banyuasin, Raden Zakaria, akan menghadapi sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Selasa, 24 Desember 2024. Sidang ini terkait dugaan pemukulan terhadap Hadi Susanto, seorang staf kantor yang juga Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sidang dijadwalkan berlangsung pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang KPU Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Berdasarkan surat panggilan DKPP nomor 1448/PS.DKPP/SET-04/XII/2024, Hadi Susanto hadir sebagai pengadu, sementara Raden Zakaria dipanggil sebagai teradu.

Agenda sidang mencakup pembacaan pokok pengaduan, jawaban teradu, serta keterangan pihak terkait dan saksi. Laporan ini terdaftar dengan nomor perkara 308-P/L-DKPP/IX/2024 dan diregistrasi sebagai 260-PKE-DKPP/X/2024.

Insiden Pemukulan di Kantor Bawaslu

Peristiwa yang terjadi pada Selasa, 6 Agustus 2024, ini bermula dari rapat internal di Kantor Bawaslu Banyuasin, Pangkalan Balai. Rapat yang awalnya membahas pencairan dana perjalanan dinas berubah menjadi tegang saat perdebatan antara Hadi Susanto dan Raden Zakaria memuncak.

Hadi disebut menolak permintaan Raden terkait pencairan dana, yang sebelumnya disampaikan melalui pesan WhatsApp. Ketegangan memuncak saat Raden menuduh Hadi memblokir kontaknya.

Akhirnya, situasi berubah menjadi fisik, dan Hadi mengaku menerima pukulan yang menyebabkan luka lebam di kening serta lecet di hidung.

“Saya tidak menyangka hal ini terjadi, tetapi ini musibah yang harus saya hadapi,” kata Hadi selang beberapa saat setelah insiden pemukulan.

Langkah Hukum

Hadi melaporkan kasus ini ke Polres Banyuasin dan DKPP dengan pendampingan kuasa hukumnya, Andri Irani, SH, C.Med.

“Kami akan memastikan pelaku mendapatkan sanksi hukum dan etik yang setimpal,” tegas Andri.

Kabar terbaru, Raden Zakaria, sudah dua bulan lebih ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang staf, Hadi Susanto.

Namun hingga kini, tak ada kabar ia ditahan. Pertanyaan pun mengemuka: ada apa dengan Polres Banyuasin?

Status tersangka Raden Zakaria diumumkan secara resmi sejak Oktober lalu. Namun, hingga pertengahan Desember 2024, ia tetap melenggang bebas. Dari informasi yang dihimpun, tersangka disebut meminta penangguhan penahanan.

Permintaan itu menuai kontroversi. Sebab, banyak pihak menilai kasus ini seharusnya diproses tanpa pandang bulu.

Berita Terkait: Sudah Dua Bulan Berstatus Tersangka, Anggota Bawaslu Raden Zakaria Belum Ditahan, Ada Apa dengan Polres Banyuasin?

Andri Irani, kuasa hukum korban, menuntut kejelasan dan meminta agar hukum ditegakkan secara adil.

“Kalau tersangka dari kalangan biasa, sudah pasti ditahan sejak awal. Tapi kenapa untuk Raden Zakaria, penanganannya berbeda?” ungkap Andri.
Hadi Susanto korban dugaan pemukulan oleh oknum pejabat Komisioner Bawaslu Banyuasin sedang menjalani visum. (Dok. Tribunepos.umbaran.com)

Dugaan Kejanggalan

Indo Sapri, ketua Jaringan Pendamping Kebijakan dan Pembangunan (JPKP), yang mendampingi korban, menyebut proses hukum yang berlarut-larut ini menimbulkan preseden buruk.

“Ini bisa dianggap diskriminasi dalam penegakan hukum. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan,” tegas Indo Sapri.

Indo Sapri mengecam keras tindakan tersebut dan mendesak DKPP memberikan sanksi tegas.

Di sisi lain, Raden Zakaria membantah tuduhan pemukulan. Ia mengklaim tindakannya sebagai bentuk perlindungan diri.

Menurutnya, tindakan yang ia lakukan semata-mata adalah upaya perlindungan diri setelah dirinya merasa terancam oleh tindakan Hadi yang menarik kerah bajunya.

“Yang sebenarnya terjadi adalah saya sedang berusaha menjaga marwah organisasi. Ketika saya merasa terancam, saya hanya berusaha melindungi diri,” jelas Raden.

Raden juga menegaskan bahwa insiden tersebut tidak lebih dari salah paham yang berkembang menjadi perkelahian.

“Ini hanya kesalahpahaman saja, bukan pemukulan seperti yang diberitakan,” ujarnya.

Ia berharap agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan dan berjanji untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

“Saya berharap insiden ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Saya siap mengikuti proses hukum dengan kooperatif,” tambahnya.
Sebuah insiden kekerasan terjadi di Kantor Bawaslu Banyuasin pada Selasa (6/8/2024), di mana staf Bawaslu Banyuasin, Hadi Susanto diduga menjadi korban penganiayaan oleh oknum komisioner Bawaslu Banyuasin, Raden Zakaria. (Dok. Tribunepos.umbaran.com)

Respons Publik

Tindakan yang diduga dilakukan oleh oknum pejabat publik di Bawaslu Banyuasin segera memicu reaksi keras dan beragam dari kelompok masyarakat Banyuasin.

Budi Setiawan, Sekretaris JPKP Banyuasin, menyatakan bahwa perbuatan kekerasan oleh pejabat publik adalah pelanggaran serius yang tidak boleh dibiarkan.

“Tindakan kekerasan, terutama oleh pejabat publik, adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir. Kami menuntut agar aparat hukum segera bertindak tegas,” ujar Budi.

Tidak hanya itu, JPKP juga telah melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes atas insiden ini, pada 12 Agustus 2024 lalu.

Dalam aksi yang berlangsung di depan Kantor Bawaslu Banyuasin dan Mapolres Banyuasin tersebut, JPKP membawa dua tuntutan utama: penetapan Raden Zakaria sebagai tersangka dan pengunduran diri seluruh komisioner Bawaslu Banyuasin.

“Kami menganggap bahwa Raden Zakaria saat ini tidak mampu menjaga marwah dan melanggar kode etik serta pedoman perilaku penyelenggara pemilu,
Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi lembaga penyelenggara pemilu itu sendiri,” tandas Budi.

Tanggapan Pengamat Hukum

Insiden ini juga mendapatkan perhatian dari kalangan hukum. Widodo, SH, yang menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) KAHMI Sumsel,
menilai bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik adalah pelanggaran berat yang harus direspon dengan pemecatan.

“Seorang pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi hukum dan etika. Perbuatan main hakim sendiri seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” tegas Widodo.

Widodo, yang juga dikenal sebagai Ketua Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile, menambahkan bahwa tindakan Raden Rakaria mencerminkan karakter pejabat yang tidak layak menduduki jabatan publik.

“Ini bukan hanya masalah pelanggaran hukum, tapi juga soal integritas moral. Pejabat yang tidak mampu mengendalikan emosinya dan menggunakan kekerasan tidak sepatutnya dibiarkan tetap menjabat,” tandasnya.

Selain itu, Widodo menekankan pentingnya penegakan disiplin dan etika dalam kepemimpinan publik.

Menurutnya, kasus ini harus menjadi peringatan bagi semua pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika.

“Kasus ini adalah cermin buruk bagi kepemimpinan publik. Pejabat publik harus selalu ingat bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral yang besar terhadap masyarakat yang mereka layani,” pungkas Widodo.

Implikasi dan Harapan Publik

Kasus yang menimpa Hadi Susanto ini bukan hanya sekadar masalah individu, tetapi juga mencerminkan problematika yang lebih luas dalam tata kelola etika di Bawaslu.

Banyak pihak menilai bahwa insiden ini menandakan adanya celah besar dalam mekanisme pengawasan dan penegakan disiplin di Bawaslu Banyuasin.

Kejadian ini, jika tidak ditangani dengan serius, dikhawatirkan dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas pemilu yang seharusnya menjadi pilar dalam menjaga demokrasi di Indonesia.

Masyarakat Banyuasin, yang sebagian besar kini semakin kritis terhadap perilaku pejabat publik, menaruh harapan besar bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan adil dan transparan.

Mereka menginginkan agar pelaku kekerasan, siapa pun dia, mendapatkan sanksi yang setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.

Di sisi lain, masyarakat juga berharap agar Bawaslu Banyuasin segera melakukan evaluasi internal untuk mencegah terjadinya insiden serupa di masa depan.

Kasus ini telah mengajarkan kepada kita semua bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak pernah menjadi solusi.

Penegakan hukum dan etika harus menjadi landasan dalam setiap tindakan, terlebih bagi mereka yang dipercaya mengemban tugas sebagai pejabat publik seperti Komisioner Bawaslu dan KPU.

Kini, bola berada di tangan DKPP dan Polres Banyuasin— akankah sanksi dan keadilan ditegakkan, ataukah insiden ini akan menjadi noda hitam dalam sejarah kepemiluan di Banyuasin?. **