TRIBUNEPOS.COM – Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang digadang-gadang sebagai ikon pembangunan pesisir tropis di utara Jakarta kini berada dalam pusaran kontroversi.
Proyek yang mencakup ribuan hektare lahan di kawasan Jakarta Utara hingga Tangerang, Banten, itu tak hanya memicu polemik soal tata ruang, tetapi juga mengorbankan lingkungan hidup dan mata pencaharian masyarakat setempat.
Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, secara tegas meminta agar proyek ini dibatalkan dan dievaluasi.
“Saya sangat setuju kalau proyek PSN PIK 2 dibatalkan dan harus dievaluasi secara menyeluruh. Jangan sampai kepentingan masyarakat dan ekosistem dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak,” ujar Firman dalam keterangan tertulis pada Jumat, 3 Januari 2025.
Firman bukan satu-satunya pihak yang mengkritik proyek ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui hasil Musyawarah Kerja Nasional ke-4 juga meminta pemerintah mencabut status PSN pada proyek ini.
Alasan MUI sederhana: proyek ini lebih banyak mendatangkan kemudaratan ketimbang manfaat bagi masyarakat.
Dugaan Pelanggaran Tata Ruang dan Lingkungan
Dalam polemiknya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nusron Wahid menyoroti bahwa proyek ini tidak tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi maupun kabupaten/kota.
“Proyek ini masuk kategori PSN pariwisata, tetapi belum ada landasan tata ruang yang jelas,” kata Nusron dalam sebuah acara media pada 31 Desember 2024.
Lebih jauh, Nusron mengungkapkan bahwa sekitar 1.500 hektare lahan PIK 2 berada di kawasan hutan lindung.
Hal ini menuntut penurunan status hutan menjadi area penggunaan lain (APL), sebuah proses yang tidak hanya rumit tetapi juga berisiko terhadap keberlanjutan lingkungan hidup.
Proyek Besar, Luka Sosial
Selain masalah tata ruang, proyek PIK 2 juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar.
Puluhan ribu warga dikabarkan telah kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka akibat pembebasan lahan yang massif.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, yang mengkritik keras proyek ini, bahkan menghadapi ancaman kriminalisasi lewat laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Padahal kritik tersebut lahir dari keprihatinan atas ketidakadilan yang dirasakan masyarakat,” ujar Gufroni, kuasa hukum Said Didu.
Gugatan Hukum dan Tuntutan Ganti Rugi
Tak hanya kritik, gugatan hukum juga menghampiri proyek raksasa ini. Taipan properti Sugiyanto Kusuma alias Aguan, bersama Presiden ke-7 RI Joko Widodo, digugat perdata oleh kelompok masyarakat yang mengklaim bahwa proyek ini melanggar hukum dan menimbulkan kerugian sosial-ekologis.
Mereka menuntut ganti rugi sebesar Rp 612 triliun untuk dikembalikan ke negara.
“Kami menuntut proyek ini dihentikan dan mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas,” ujar Ahmad, penggugat dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Narasi Pembangunan yang Berpihak pada Rakyat
Di tengah gegap gempita pembangunan, proyek PSN PIK 2 menjadi pengingat bahwa narasi kemajuan ekonomi tak boleh mengorbankan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Kritik, gugatan, dan polemik yang mengiringi proyek ini mencerminkan bahwa masyarakat kini semakin berani mempertanyakan pembangunan yang tak berpihak kepada mereka.
Seperti yang dikatakan Firman Soebagyo, “Pembangunan itu haruslah berlandaskan pada asas manfaat bagi rakyat, bukan sekadar keuntungan segelintir pengusaha.”
Akankah pemerintah meninjau ulang proyek ini demi menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan? Atau justru proyek ini akan terus melaju, menabrak segala aturan dan hati nurani masyarakat? Waktu yang akan menjawabnya. **
Sumber: Tempo
TRIBUNEPOS – BICARA FAKTA, MENGINSPIRASI BANGSA