Scroll untuk baca artikel
BeritaDesaOgan IlirSumsel

Empat Dekade, Warga Tanjung Tambak Bertahan Hidup dengan Kerajinan Kipas Bambu

×

Empat Dekade, Warga Tanjung Tambak Bertahan Hidup dengan Kerajinan Kipas Bambu

Sebarkan artikel ini
Yulita (56), warga Desa Tanjung Tambak Baru, Kecamatan Tanjung Batu, Ogan Ilir. (Foto: Adya A Cahya/ Tribunepos) 
Laporan Jurnalis: Adya A Cahya/ Tribunepos Ogan Ilir

OGAN ILIR, TRIBUNEPOS Di sebuah rumah sederhana di Desa Tanjung Tambak Baru, Kecamatan Tanjung Batu, Ogan Ilir, Sumsel, terdengar bunyi gesekan bambu yang dipotong dan dijemur di bawah terik matahari. Di situlah Yulita (56) menghabiskan sebagian besar hidupnya.

Sejak 40 tahun silam, ia menekuni pekerjaan sebagai pengrajin kipas bambu—kerajinan tradisional yang terus ia rawat meski zaman berganti.

Setiap helai bambu yang sudah kering akan diberi warna dengan bubuk pewarna. Setelah itu, Yulita menata lembaran bambu, menjahit pinggirannya dengan benang kuat, lalu melipatnya hingga berbentuk kipas. Ada yang bulat, ada pula yang penuh, tergantung pesanan pembeli.

“Kalau sudah rapi dan kering, baru siap dijual,” katanya kepada Tribunepos, Kamis (28/8/25).

Kipas buatannya dijual seharga Rp10 ribu per buah. Murah, namun cukup untuk menyambung hidup. Dalam sehari, Yulita bisa meraup sekitar Rp100 ribu. Uang itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarga.

“Alhamdulillah, cukup untuk makan. Kadang ada pesanan banyak, bisa lebih,” ujarnya sembari tersenyum.

Pasar kipas bambu Yulita tidak hanya terbatas di Ogan Ilir. Ia pernah mengirim hingga ke Bangka, Jambi, bahkan Jawa.

Permintaan datang karena kipas bambu ini tidak sekadar fungsional, tetapi juga punya nilai estetika dan kerap dijadikan souvenir.

Di tengah gempuran kipas modern berbahan plastik hingga kipas elektrik, kerajinan Yulita tetap bertahan. Bagi perempuan ini, kipas bambu bukan sekadar barang dagangan.

“Ini sudah jadi bagian hidup saya. Dari sini saya bisa bertahan, dan tradisi ini jangan sampai hilang,” katanya lirih.

Empat dekade berkutat dengan bambu menjadikan Yulita bukan hanya pengrajin, melainkan juga penjaga tradisi.

Dari tangannya, sehelai bambu kering menjelma menjadi kipas yang tak sekadar penyejuk udara, tapi juga saksi hidup tentang ketekunan, warisan, dan napas budaya desa. **