Laporan Jurnalis: Am Mursalim/ Tribunepos Batam
BATAM, TRIBUNEPOS – Laut Batam, sumber kehidupan sekaligus tulang punggung ekonomi kota, tengah menghadapi ancaman serius. Pencemaran laut berpotensi menekan sektor pariwisata, yang pada 2024 menyumbang Rp 357,74 miliar atau 24 persen dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Batam.
Institut Teknologi Batam (ITEBA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Dampak Sosial-Ekonomi Pencemaran Laut terhadap Pariwisata di Batam” di Kampus ITEBA, Tiban Ayu, Sabtu (13/9/25).
Forum ini mempertemukan pemerintah, akademisi, komunitas, dan pelaku industri pariwisata untuk merumuskan solusi berkelanjutan.
Dr. Eng. Ansarullah Lawi, Wakil Rektor ITEBA, menegaskan urgensi kolaborasi lintas sektor.
“Pencemaran laut bukan sekadar ancaman lingkungan, tetapi juga risiko nyata bagi ekonomi Batam,” ujarnya.
FGD mengungkap dampak nyata pencemaran laut. Kebocoran minyak hitam dari kapal tanker yang terbakar di perairan Malaysia pada Mei 2023 menurunkan jumlah wisatawan dari ribuan menjadi ratusan, sekaligus menekan pendapatan nelayan hingga 30–40 persen. Kerusakan ekosistem laut juga memicu tekanan sosial di masyarakat pesisir.
Penanganan masalah ini masih kompleks. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau menangani laut 0–12 mil, sedangkan wilayah pesisir dikelola Dinas Perikanan Kota Batam.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam bahkan belum memiliki anggaran untuk uji pencemaran laut. Kelemahan koordinasi lintas lembaga membuat respons terhadap pencemaran lamban dan tidak maksimal.
Masalah sampah laut dan pesisir juga belum tuntas. Perangkat penangkap sampah (trap) belum merata, sehingga dampak visual dan ekologis masih dirasakan warga dan wisatawan.
Perwakilan Pokdarwis Belakang Padang dan Pulau Abang menekankan perlunya inovasi pengelolaan sampah, termasuk pelibatan operator swasta untuk memperkuat pengawasan dan akuntabilitas.
FGD menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis. Pertama, penguatan tata kelola melalui model Penta-Helix—pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media—dengan target layanan jelas, pembagian peran tegas, dan indikator capaian terukur.
PP 25/2025 memberi dasar hukum bagi BP Batam untuk mempercepat perizinan dan pengendalian dampak di pesisir strategis.
Kedua, koordinasi lintas lembaga diterjemahkan ke rencana aksi terpadu, kanal pelaporan warga, sistem tanggap darurat sampah, dan integrasi perizinan BP Batam–Pemko Batam–Pemprov Kepri.
Ketiga, inovasi dan pemberdayaan masyarakat meliputi percepatan operasional TPS 3R, perluasan bank sampah, aplikasi perizinan terpadu, edukasi door-to-door, insentif ekonomi daur ulang, serta pengembangan ekonomi kreatif wisata berkelanjutan.
Langkah ini diperkuat RPJMD Kota Batam 2025–2029 dan rencana pembentukan tim koordinasi untuk memantau progres.
ITEBA dan Batam Tourism Polytechnic (BTP) di bawah Yayasan Vitka menegaskan komitmen pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di Kepulauan Riau, khususnya dalam bidang maritim, perdagangan internasional, dan pariwisata berkelanjutan. **












