Laporan Jurnalis: Tri Andini Firdanti/ Tribunepos Ogan Ilir
OGAN ILIR, TRIBUNEPOS – Suasana di Desa Tanjung Alai, Kecamatan Kandis, Ogan Ilir, Sumaters Selatan, Senin (22/9/25) pagi itu, terasa berbeda ketika Hamdi, Ketua Lembaga Adat setempat, menyinggung soal tantangan menjaga tradisi.
Dengan nada tegas, ia menyebut persoalan terbesar bukan pada upacara adat itu sendiri, melainkan pada makin tipisnya pemahaman masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap makna persembahan.
“Banyak anak muda menganggap adat hanya formalitas. Padahal ini identitas kita. Kalau dibiarkan, siapa lagi yang akan menjaga?” kata Hamdi saat diwawancarai Tribunepos.
Dari catatan lembaga adat, sekitar 60 persen warga Tanjung Alai masih mempraktikkan adat seperti sediakala. Namun sisanya, lebih banyak terpengaruh modernisasi. Hamdi mengaku kerap menghentikan jalannya upacara bila ada pelanggaran.
“Bukan untuk mempermalukan, tapi supaya mereka paham adat bukan main-main,” ujarnya.
Para tetua adat menyuarakan keresahan yang sama. Mereka khawatir kelestarian adat makin terpinggirkan, sementara generasi muda sibuk dengan gawai dan pekerjaan di luar desa.
Beberapa pemuda memang sudah berinisiatif menggelar diskusi budaya dan belajar langsung dari para sesepuh, tapi jumlahnya masih terbatas.
Bagi masyarakat Tanjung Alai, Kandis, Ogan Ilir, adat bukan sekadar ritual, melainkan jati diri.
“Kalau persembahan tidak lagi dipahami, yang hilang bukan cuma prosesi, tapi akar kita sebagai orang desa ini,” tutur Hamdi.
Di tengah tarik-menarik antara modernisasi dan warisan leluhur, perjuangan lembaga adat setempat kini berpacu dengan waktu. Mereka berusaha menjembatani dua generasi—agar tradisi tidak hanya menjadi cerita, melainkan tetap hidup dalam keseharian masyarakat. **