Scroll untuk baca artikel
BeritaNasionalOpiniPWISosokViral

Menembus Batas Melawan Keraguan, 15 Tahun Perjalanan Risdu Ariri Jurnalis Banten

×

Menembus Batas Melawan Keraguan, 15 Tahun Perjalanan Risdu Ariri Jurnalis Banten

Sebarkan artikel ini
Risdu Ariri, Jurnalis Tribunepos Banten.
MENJADI jurnalis bukan sekadar menulis berita, tapi menjaga nurani di tengah riuh informasi. Itulah kalimat pembuka Risdu Ariri, jurnalis asal Serang, Banten, saat berbincang dengan tim Tribunepos dalam sesi podcast eksklusif, Rabu (08/10/25) siang itu.

Suara Risdu terdengar mantap, penuh keyakinan, seolah setiap katanya mewakili perjalanan panjang belasan tahun mengabdi pada dunia pers.

Risdu tumbuh di Serang, di tengah keluarga sederhana yang sarat nilai-nilai kejujuran dan kerja keras.

Ia anak tunggal dari pasangan ibu asli Banten dan ayah keturunan Tionghoa yang memeluk Islam.

Latar keluarga yang beragam itu menanamkan padanya rasa empati yang dalam dan kemampuan memandang masalah dari banyak sisi.

Perkenalannya dengan dunia jurnalistik dimulai pada 2010, ketika ia bergabung dengan media lokal Detektif Banten. Awalnya, ia hanya ingin menulis opini dan laporan sosial.

Namun, dari liputan kecil tentang kegiatan masyarakat, ia menemukan sesuatu yang lebih besar, panggilan untuk menyuarakan yang tak terdengar.

“Saya jatuh cinta pada prosesnya,” ujarnya.“Setiap berita membawa saya lebih dekat dengan kehidupan orang banyak.”

Perjalanannya tidak mulus. Sang ayah sempat berharap ia menempuh jalur wirausaha ketimbang dunia pers yang penuh risiko dan tak menentu.

Namun, dukungan datang dari sang ibu yang melihat api semangat dalam dirinya.

“Mereka akhirnya paham, ini bukan sekadar profesi, tapi jalan hidup,” kata Risdu sambil tersenyum tipis.

Ia mulai dikenal sebagai jurnalis yang berani dan teliti. Di antara teman sejawat, Risdu dijuluki “si pemburu data A1”—sebuah istilah bagi wartawan yang hanya percaya pada sumber primer.

“Data valid itu harga mati,” tegasnya.“Kalau jurnalis main asal kutip, itu bukan jurnalisme, tapi desas-desus.”

Bagi Risdu, dunia jurnalistik kini menghadapi tantangan baru. Arus informasi yang deras membuat batas antara fakta dan opini kian kabur. Banyak berita muncul tanpa verifikasi yang memadai.

“Cepat itu penting, tapi benar lebih utama,” ujarnya.
Risdu Ariri, Jurnalis Tribunepos Banten.

Ia menyoroti betapa pentingnya jurnalis tetap menjaga etika, integritas, dan keberanian di tengah tekanan publik maupun kepentingan tertentu.

“Kadang kita berhadapan dengan pejabat atau pengusaha yang tak senang dengan pemberitaan. Tapi kalau kita mundur, siapa lagi yang akan menulis kebenaran?” katanya.

Risdu tak hanya menulis dari balik meja redaksi. Ia lebih suka turun langsung ke lapangan, berbincang dengan masyarakat kecil, mendengarkan keluhan warga yang jarang masuk media.

Dari sanalah lahir banyak laporannya, tentang anak-anak yang putus sekolah, petani yang kehilangan lahan, atau bantuan sosial yang tak sampai ke tangan penerima.

“Kalau tidak turun, kita tidak akan tahu bahwa di balik statistik pemerintah, ada manusia yang sesungguhnya,” ucapnya lirih.

Kini, setelah lebih dari 15 tahun berkarier, Risdu masih memegang prinsip yang sama, jurnalisme harus berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan.

Ia berharap jurnalis muda tidak terjebak pada glamoritas profesi, tetapi memahami esensinya.

“Jurnalistik itu bukan tentang siapa paling viral,” ujarnya. “Tapi siapa yang paling jujur menulis realitas.” tambahnya. 

Suasana wawancara berakhir dengan tawa ringan. Namun di balik kesederhanaan Risdu, tersimpan pesan kuat bagi dunia pers Indonesia, bahwa di tengah perubahan zaman, masih ada wartawan yang memilih menulis dengan hati.

Wawancara eksklusif Tribunepos ini menjadi bagian dari program “Tribunepos Inspiring Journalist”, yang menyoroti sosok-sosok jurnalis berintegritas dari berbagai daerah.

Melalui kisah Risdu Ariri, kita diingatkan bahwa profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan untuk menjaga kebenaran dan nurani publik. **

Penulis: Zahra Amiya Tasya/ Jurnalis Tribunepos