BANTEN, TRIBUNEPOS.COM – Aliansi Mahasiswa dan Aktivis Anti Korupsi (AMAKO) kembali menggelar aksi protes di Kejaksaan Tinggi Banten, Kamis (7/11/24), menuntut penegakan hukum atas kasus dugaan kasus korupsi dana hibah pondok pesantren (ponpes) tahun anggaran 2018-2020.
Massa yang dipimpin oleh Faisal Rizal mendesak Kejati Banten untuk membuka penyidikan jilid dua dan menyeret aktor-aktor intelektual yang disebut belum tersentuh hukum.
“Putusan Mahkamah Agung Nomor 5656 K/Pid.Sus/2020 dan fakta persidangan di Pengadilan Negeri Serang memberikan bukti kuat.
Kami menuntut Kejati segera memanggil pihak-pihak yang berperan penting dalam pengalokasian dana hibah ini, khususnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin Sekda saat itu, dan juga BPKAD sebagai pelaksana teknis,” tegas Faisal dalam orasinya.
Faisal mempertanyakan minimnya respons terhadap laporan masyarakat yang selama ini telah disampaikan secara resmi.
“Kejati Banten harus transparan dan bertanggung jawab sesuai standar operasional prosedur (SOP). Jika pengaduan ini terus diabaikan, kami akan menuntut evaluasi terhadap pejabat terkait yang tak berkomitmen dalam pemberantasan korupsi,” kata Faisal.
Tak hanya mengenai dana hibah ponpes, AMAKO juga menyoroti dugaan penyimpangan terkait pengangkatan Plt Kepala Dinas di Provinsi Banten yang melanggar Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara Nomor 1/SE/I/2021.
Menurut Faisal, banyak pejabat yang seharusnya sudah diganti setelah enam bulan, namun faktanya masih menjabat hingga lebih dari batas waktu yang diizinkan.
“Kami menduga laporan kami seakan ditutup-tutupi. Sebagai pelapor, kami pun tidak pernah dipanggil atau diberi informasi mengenai perkembangan laporan tersebut,” tambahnya.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/11/IMG-20241107-WA0007.jpg)
Orator lain, Y. Sumaryono yang juga seorang advokat, turut mengecam keterlambatan Kejati Banten dalam menindaklanjuti dugaan korupsi ini.
Menurutnya, sebanyak 172 pesantren penerima hibah tahun 2020 tidak terdaftar dalam EMIS (Education Management Information System) yang dikelola oleh Kementerian Agama.
“Ini tanggung jawab Pemprov Banten, TAPD, BPKAD, dan Biro Pemkesra. Tidak ada satu pun proposal yang diunggah dalam sistem e-Hibah, dan ini perlu diselidiki lebih lanjut oleh penyidik agar semua pihak yang terlibat tidak luput dari tanggung jawab,” ujar Sumaryono.
AMAKO pun mengusulkan diadakannya eksaminasi publik atas putusan pengadilan dalam kasus ini untuk membuka fakta hukum yang sebenarnya kepada publik.
“Kami ingin proses hukum ini berjalan dengan prinsip ‘tajam ke atas, humanis ke bawah.’ Jika Kejati tidak merespons tuntutan ini, kami akan menggelar aksi massa dan eksaminasi publik, bekerja sama dengan FSPP dan pondok pesantren di Banten demi menjaga nama baik lembaga pendidikan Islam,” pungkas Sumaryono.
Dalam aksi yang berlangsung di halaman Kejati Banten ini, suasana memanas ketika massa meminta dialog langsung dengan pejabat Kejati.
Faisal menantang Kajati untuk menggelar audiensi terbuka di tempat ikonik, seperti Alun-Alun Serang atau Patung Kuda, agar dapat menjelaskan langsung perkembangan kasus kepada publik.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejati Banten belum memberikan tanggapan resmi atas tuntutan AMAKO. Namun, desakan publik agar kasus ini segera diusut tuntas dan aktor-aktor utama bertanggung jawab terus menguat dan jadi perbincangan hangat di masyarakat luas.
Ini ujian menjadi ujian bagi Kejati Banten dalam memperlihatkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi di Banten. **
Jurnalis-Risdu Ariri