BANYUASIN, TRIBUNEPOS.COM – RADEN ZAKARIA, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, kini resmi menyandang status tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap pegawai negeri sipil (PNS) Bawaslu Banyuasin, Hadi Susanto.
Penetapan tersangka ini dilakukan oleh Polres Banyuasin pada 15 Oktober 2024, berdasarkan surat yang ditandatangani Kasat Reskrim, AKP Teguh Prasetyo, S.IK.
Raden Zakaria diduga melanggar pasal 351 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan.
Kasus yang menyeret Raden Zakaria ini sudah lama menjadi sorotan publik. Konflik internal di lingkungan Bawaslu ini mencuat ke permukaan setelah insiden pemukulan yang terjadi pada 6 Agustus 2024 lalu.
Dugaan penganiayaan itu berawal dari cekcok antara Raden Zakaria dan Hadi Susanto terkait masalah administrasi pencairan dana perjalanan dinas, yang belum kunjung terealisasi.
Ketegangan yang awalnya bersifat verbal berubah menjadi fisik saat keduanya bertemu dalam rapat di kantor Bawaslu Banyuasin.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240807-WA0003.jpg)
Awal Mula Konflik
Menurut sejumlah sumber, perselisihan ini bermula ketika Raden Zakaria beberapa kali meminta informasi kepada Hadi Susanto terkait pencairan dana perjalanan dinas yang terlambat.
Melalui pesan di aplikasi WhatsApp, Raden mencoba meminta klarifikasi dari Hadi, namun tidak mendapat respons. Hal ini memicu kemarahan Raden, dan diduga semakin marah setelah Hadi memblokir kontaknya.
Pada 6 Agustus 2024, kedua pihak bertemu dalam sebuah rapat internal di kantor Bawaslu. Ketegangan yang telah lama terpendam akhirnya meledak.
Menurut saksi mata, Hadi yang merasa tersudut karena pertanyaan dan lontaran kata pedas Raden, mengambil langkah drastis dengan menarik kerah baju Raden.
Tak terima dengan perlakuan itu, Raden diduga bereaksi dengan memukul Hadi. Insiden ini berakhir dengan Hadi mengalami luka yang kemudian dibuktikan melalui visum yang menjadi bukti kuat dalam penyidikan.
Setelah insiden tersebut, Hadi Susanto melaporkan kejadian tersebut ke Polres Banyuasin. Sejak saat itu, penyelidikan intensif dilakukan oleh pihak kepolisian, mulai dari pengumpulan barang bukti, pemeriksaan saksi-saksi, hingga analisis dokumen visum.
Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang diterbitkan oleh penyidik mengonfirmasi bahwa kasus ini mengalami kemajuan signifikan.
Setelah hampir dua bulan proses penyelidikan, pada 15 Oktober 2024, Polres Banyuasin secara resmi menetapkan Raden Zakaria sebagai tersangka.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/10/IMG-20241022-WA0019.jpg)
Penetapan tersangka ini disambut baik oleh pihak korban. Budi Setiawan, Sekretaris Jaringan Pendamping Kinerja Pemerintahan (JPKP) Banyuasin yang juga bertindak sebagai kuasa pendamping bagi Hadi Susanto, mengapresiasi langkah cepat pihak kepolisian.
“Kami menyambut baik penetapan tersangka ini. Ini menunjukkan bahwa hukum tetap berlaku bagi siapa pun, termasuk pejabat publik,” ujar Budi.
Menurut Budi, penetapan tersangka terhadap Raden Zakaria adalah awal yang baik dalam menegakkan keadilan, namun ia berharap agar kasus ini diproses hingga tuntas.
“Kami akan terus mengawal kasus ini. Penetapan tersangka adalah langkah awal, tetapi yang lebih penting adalah memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai prosedur hingga akhirnya keadilan ditegakkan,” tambahnya.
Kasus penganiayaan yang menjerat Raden Zakaria, salah satu komisioner Bawaslu, menjadi sorotan luas, tidak hanya di Banyuasin tetapi juga di level provinsi dan nasional.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa kasus ini bisa mencoreng citra Bawaslu, terutama menjelang Pemilu Serentak 2024 yang tinggal hitungan bulan.
Indosapri, Ketua JPKP Banyuasin, menegaskan pentingnya lembaga seperti Bawaslu untuk menjaga sikap etis dan integritas, terutama dalam menghadapi isu yang menyangkut perilaku para anggotanya.
“Kami berharap Bawaslu dapat segera menuntaskan masalah internal ini. Kasus ini bisa mencoreng kepercayaan publik terhadap mereka jika tidak ditangani dengan serius,” ujar Indosapri.
Menurutnya, Raden Zakaria, sebagai bagian dari lembaga pengawas pemilu, seharusnya menjadi teladan dalam hal sikap dan tindakan.
“Ini bukan hanya soal dugaan penganiayaan, tetapi soal menjaga wibawa lembaga. Masyarakat Banyuasin menunggu bagaimana Bawaslu akan menangani isu ini, dan apakah mereka akan menindak anggotanya yang terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum,” tambahnya.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240806-WA0049-1024x454-1.jpg)
Masyarakat Banyuasin, khususnya komunitas pemantau pemilu dan aktivis demokrasi, kini mengarahkan perhatian mereka pada perkembangan kasus ini.
Penetapan tersangka terhadap seorang komisioner Bawaslu membuat banyak pihak berharap agar hukum ditegakkan secara adil, tanpa memandang jabatan atau posisi seseorang.
“Sebagai warga, kami tentu berharap agar hukum tidak tebang pilih. Jika memang terbukti bersalah, siapa pun pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” ujar Indo Sapri.
“Kami ingin keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kasus ini adalah ujian bagi Bawaslu dan lembaga penegak hukum.”
Kini, dengan status tersangka yang sudah disandang oleh Raden Zakaria, proses hukum selanjutnya tinggal menunggu kepastian dari pihak kejaksaan.
Indo Sapri berharap agar penyidik segera menyelesaikan berkas perkara dan melimpahkannya ke pengadilan.
“Kami berharap proses ini berjalan cepat, adil, dan transparan. Kami ingin kasus ini segera mendapat kepastian hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Bawaslu Banyuasin belum memberikan pernyataan resmi terkait status hukum Raden Zakaria. Namun, masyarakat Banyuasin kini menantikan bagaimana lembaga tersebut akan merespons situasi ini.
Kasus penganiayaan ini ternyata tidak hanya bergulir di ranah kepolisian. Hadi Susanto, melalui kuasa hukumnya, juga telah melaporkan dugaan pelanggaran etik Raden Zakaria ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Laporan ini menambah kompleksitas permasalahan, karena DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi terhadap penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik.
Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh pejabat publik untuk tetap menjaga integritas dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral dalam menjalankan tugasnya. Jangan arogan dan gampang tersulut emosi. **