Oleh: Tim Tribunepos
TRIBUNEPOS.COM – Pada pertengahan Desember 2017, sidang perkara megakorupsi proyek KTP elektronik atau e-KTP menggemparkan publik. Nama-nama besar dari lintas partai politik menyeruak dalam dakwaan Setya Novanto, sang terdakwa utama.
Namun, kasus dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun ini kembali menyisakan pertanyaan besar: mengapa tokoh-tokoh tertentu seolah kebal dari jeratan hukum?
Dua nama yang disebut langsung oleh Setya Novanto dalam persidangan adalah Puan Maharani dan Pramono Anung, dua tokoh penting dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dalam kesaksiannya, Novanto membeberkan aliran dana sebesar 500.000 dolar AS untuk masing-masing Puan dan Pramono—setara Rp7,5 miliar kala itu.
Namun, hingga detik ini, tak ada langkah hukum yang menjerat atau bahkan sekadar memanggil mereka sebagai saksi.
Paradoks di Balik Kekuasaan
Skandal e-KTP menggambarkan paradoks politik Indonesia. Di satu sisi, PDIP selalu menggaungkan dirinya sebagai partai yang bersih dan berkomitmen memberantas korupsi.
Di sisi lain, nama-nama besar di partai tersebut justru disebut dalam pengakuan seorang terdakwa, tanpa ada tindak lanjut yang jelas dari penegak hukum.
“Puan dan Pramono ini seperti memiliki tameng kekuasaan yang sangat kuat,” ujar seorang pengamat politik yang enggan disebutkan namanya.
“Ketika nama mereka disebut dalam persidangan, harapan publik adalah kejelasan hukum, tetapi yang terjadi justru kebisuan yang mencurigakan.”
Kekuasaan dan Impunitas
Kasus ini mencerminkan betapa kuatnya pengaruh politik dalam membelokkan arah keadilan. Pengakuan Setya Novanto sejatinya memberikan petunjuk yang terang-benderang.
Namun, alih-alih mendalami keterangan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru terlihat tumpul ketika berhadapan dengan nama-nama besar seperti Puan dan Pramono.
Bagi publik, ini adalah potret ketimpangan hukum yang akut.
“Kalau rakyat biasa yang korupsi, hukumannya berat. Tapi kalau politisi besar, seolah ada tirai besi yang melindungi mereka,” keluh seorang warga Jakarta yang mengikuti kasus ini sejak awal.
Kesan impunitas ini semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa hingga kini KPK belum juga memanggil Puan atau Pramono sebagai saksi.
Dalam hukum acara pidana, keterangan terdakwa semestinya menjadi dasar kuat untuk memanggil pihak-pihak terkait. Namun, kasus ini justru menunjukkan sebaliknya.
Luka Reformasi Hukum
Di tengah upaya reformasi hukum yang terus didengungkan, skandal e-KTP adalah luka yang terus menganga. Publik melihat bahwa hukum bisa begitu selektif dalam menjerat pelaku korupsi, terlebih jika pelaku memiliki pengaruh politik yang besar.
“Kasus ini adalah pengingat bahwa kita masih jauh dari cita-cita reformasi hukum yang adil dan transparan,” ujar Direktur sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang anti-korupsi.
“Setiap nama yang disebut dalam kasus ini harus diproses tanpa pandang bulu. Jika tidak, maka publik akan semakin kehilangan kepercayaan pada penegakan hukum.”
Skandal ini bukan hanya soal angka-angka fantastis yang raib dari kas negara, tetapi juga soal kepercayaan rakyat pada sistem hukum.
Jika para tokoh seperti Puan Maharani dan Pramono Anung terus tak tersentuh, apa yang bisa diharapkan dari janji pemberantasan korupsi?
Bayang-Bayang Harapan
Hingga kini, pertanyaan publik tetap menggantung: akankah ada keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam skandal ini?
Ataukah kasus e-KTP hanya akan menjadi episode lain dalam daftar panjang kasus megakorupsi tanpa penyelesaian di negeri ini?
Di luar gedung-gedung parlemen dan kantor KPK yang megah, masyarakat terus menyimpan kemarahan yang tak terucapkan.
Bagi mereka, kasus ini bukan hanya soal Puan atau Pramono. Ini adalah soal keadilan yang mereka dambakan, tetapi entah kapan bisa dirasakan.
“Selama politik dan uang mendominasi, hukum hanya akan menjadi alat para penguasa,” pungkas seorang akademisi hukum. “Tapi ingat, rakyat tidak pernah lupa.” **
TRIBUNEPOS – BICARA FAKTA, MENGINSPIRASI BANGSA