Scroll untuk baca artikel
BeritaOgan IlirSumsel

BPBD Ogan Ilir Bekerja di Tengah Keterbatasan, Terkendala Mobil Tua dan Minimnya Anggaran

×

BPBD Ogan Ilir Bekerja di Tengah Keterbatasan, Terkendala Mobil Tua dan Minimnya Anggaran

Sebarkan artikel ini
Kepala BPBD Ogan Ilir, Drs. H. Edi Rahmat, MSi. (Foto: Tribunepos)
Laporan Jurnalis: Zahrah Amiya Tasya/ Tribunepos Ogan Ilir

OGAN ILIR, TRIBUNEPOS Asap tipis masih sesekali terlihat di beberapa sudut lahan gambut Ogan Ilir meski musim hujan mulai tiba. Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) belum sepenuhnya reda.

“Kami tetap siaga. Ada tiga posko utama yang kami dirikan di Indralaya, Gerbang Tol KTM Rambutan, dan Tanjung Raja. Ditambah dua posko bantuan dari provinsi di Simpang Lorok dan Kertapati,” kata Kepala BPBD Ogan Ilir, Drs. H. Edi Rahmat, MSi, saat disambangi Tribunepos, Kamis (11/9/25).

Menurut Edi, tugas utama BPBD terbagi dalam tiga fase, pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana.

Pada tahap pra-bencana, BPBD gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat, menggandeng TNI, hingga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan untuk melarang pembakaran lahan.

Saat bencana berlangsung, posko siaga darurat menjadi garda terdepan.

Pascabencana, BPBD kerap mengajukan permohonan rehabilitasi dan rekonstruksi ke pemerintah pusat, misalnya untuk perbaikan jalan amblas atau jembatan rusak akibat banjir.

Namun, pekerjaan itu bukan tanpa hambatan. Edi mengungkapkan kendala klasik, minimnya anggaran dan sarana prasarana.

Edi Rahmat mengakui keterbatasan sarana, prasarana, dan anggaran menjadi kendala serius dalam menjalankan tugas penanggulangan bencana.

Ia menyebut kondisi ini berisiko mengurangi efektivitas kerja, terlebih di wilayah yang rawan bencana.

“Armada kami banyak yang uzur. Mobil tangki, kendaraan pengangkut personel, hingga mobil operasional serbaguna rata-rata sudah berusia lebih dari lima tahun. Kami sedang mengajukan peremajaan, tapi prosesnya tidak cepat,” ujar Edi Rahmat, Kamis (11/9/25).

Tak hanya kendaraan, dana operasional lapangan pun masih jauh dari ideal. Setiap personel hanya mendapat Rp40 ribu sekali turun ke lapangan.

“Biaya operasional Rp40 ribu per orang sekali turun itu belum memenuhi standar dan dan jauh dari cukup, apalagi di lapangan mereka harus bekerja berjam-jam dalam kondisi darurat. Kami paham dan maklum kondisi keterbatasan keuangan daerah, tapi tetap ini jadi tantangan besar,” katanya.

Persoalan lain adalah minimnya peralatan. Dengan cakupan 16 kecamatan, BPBD hanya memiliki dua unit mobil tangki, sepuluh unit mesin pompa, dan dua perahu karet. Padahal, idealnya setiap kecamatan memiliki dua unit armada dan perlengkapan sendiri.

“Kondisi ini membuat kami tidak bisa meng-cover bila bencana terjadi secara bersamaan di wilayah berbeda,” ungkapnya.

Dalam dua tahun terakhir, empat bencana utama kerap melanda Ogan Ilir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), angin kencang yang merusak rumah warga, banjir pasang saat musim hujan, serta longsor di pinggiran sungai.

Meski dihadang keterbatasan, Edi menitip pesan kepada masyarakat agar ikut berperan menjaga alam.

“Kurangi kegiatan yang merusak, seperti membakar hutan atau membuang sampah ke sungai. Kalau kita jaga alam, alam akan menjaga kita,” ujarnya.

Situasi ini memperlihatkan dilema penanggulangan bencana di daerah, ancaman terus meningkat, sementara perangkat untuk menghadapi bencana jauh dari kata ideal.

Tanpa dukungan anggaran dan sarana yang memadai, siaga bencana bisa berubah sekadar jargon di atas kertas. **