PALEMBANG, TRIBUNEPOS – Senin pagi yang biasanya tenang di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan mendadak geger. Di antara kilatan kamera dan sorotan mata wartawan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Banyuasin, Apriansyah (APR), digiring keluar dengan tangan terborgol.
Wajahnya tampak pucat, mungkin menyadari bahwa langkah kakinya kali ini bukan menuju proyek pembangunan yang megah, melainkan ke balik jeruji besi.
Tak sendirian, Apriansyah ditemani oleh Arie Martharedo (AMR), Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol pada Sekretariat DPRD Sumatera Selatan, serta Wisnu Andrio Fatra (WAF), Wakil Direktur CV. HK.
Mereka bertiga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap proyek pembangunan jalan, pembuatan Kantor Camat Keramat Raya, dan pembangunan saluran drainase di Kabupaten Banyuasin.

Siasat di Balik Proyek
Suasana tegang terasa ketika Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumsel, Umaryadi, menjelaskan secara rinci modus operandi yang dilakukan ketiga tersangka.
Mereka diduga mengatur proyek yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Selatan Tahun Anggaran 2023 senilai Rp 3 miliar.
Empat proyek besar itu, yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Banyuasin, ternyata hanya menjadi kedok untuk mengalirkan dana secara ilegal.
Suap dalam bentuk commitment fee sudah direncanakan matang-matang. Arie dan Apriansyah dituding memainkan peran penting dalam mengatur pemenang lelang agar jatuh ke tangan CV. HK, perusahaan yang diwakili oleh Wisnu.
Namun, proyek tersebut tak kunjung selesai dan diduga tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.
Alhasil, negara dirugikan sebesar Rp 826.100.000. Jumlah yang fantastis, mengingat banyak masyarakat yang menanti perbaikan infrastruktur di wilayah tersebut.
Penangkapan Dramatis di Dua Kota
Tak hanya di Palembang, drama penangkapan juga terjadi di Jakarta. AMR ditangkap saat sedang berada di ibu kota, sementara APR dan WAF sudah lebih dulu digiring ke Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Palembang. Ketiganya ditahan selama 20 hari, menunggu proses hukum yang lebih lanjut.
“Selanjutnya akan dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan,” ujar Umaryadi dalam konferensi pers yang dipenuhi wartawan lokal dan nasional.

Jerat Hukum yang Mengintai
Bukan perkara sepele, ketiga tersangka dijerat dengan pasal-pasal berat. Apriansyah dan Arie Martharedo dikenakan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Sedangkan Wisnu Andrio Fatra harus bersiap menghadapi dakwaan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang Tipikor serta beberapa pasal lainnya yang bisa mengantarkannya pada hukuman berat.
Pecahnya Kepercayaan Publik
Kasus ini tak hanya merugikan negara secara materiil, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Proyek yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru menjadi ajang bancakan para pejabat.
“Ini bukan sekadar kasus korupsi, tetapi juga penghancuran harapan masyarakat,” ucap salah satu warga Banyuasin yang kecewa setelah mengetahui proyek yang ditunggu-tunggu ternyata berujung skandal.
Penyelidikan yang Berlanjut
Hingga saat ini, Kejati Sumsel telah memeriksa 28 saksi terkait kasus ini. Tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah, mengingat kompleksitas dan besarnya aliran dana dalam proyek tersebut.
Drama belum usai. Publik menanti kelanjutan proses hukum yang tengah berjalan. Apakah kasus ini akan mengungkap lebih banyak skandal di balik pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan? Atau, akankah ada nama-nama besar lainnya yang ikut terseret?
Yang pasti, keadilan sedang diuji. Masyarakat menunggu kebenaran diungkap, berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi para pejabat lain untuk tidak bermain api dengan uang rakyat. **