Scroll untuk baca artikel
BeritaBerita UtamaNasionalPolitik

Geram Dapat Bantahan Soal Uang Rp 100 Juta, Akbar: “Muhaimin dan Masjidah, Kita akan Bertemu di DKPP”

×

Geram Dapat Bantahan Soal Uang Rp 100 Juta, Akbar: “Muhaimin dan Masjidah, Kita akan Bertemu di DKPP”

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Geram Dapat Bantahan Soal Uang Rp 100 Juta, Akbar: "Muhaimin dan Masjidah, Kita akan Bertemu di DKPP"

OGAN ILIR, TRIBUNEPOS – Kasus dugaan pelanggaran etik yang melibatkan salah satu oknum KPU Ogan Ilir semakin memanas. Muhammad Akbar, mantan calon legislatif DPRD Sumsel yang mengaku telah menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta kepada Ahmad Muhaimin untuk diberikan kepada Ketua KPU Ogan Ilir, Masjidah, kini angkat suara.

Akbar menegaskan bahwa ia tidak akan tinggal diam setelah menerima bantahan dari kedua pihak tersebut.

Akbar menyatakan bahwa ia memiliki bukti-bukti kuat terkait penyerahan uang tersebut. Bukti-bukti itu termasuk bukti transfer, pengakuan Ahmad Muhaimin dalam bentuk surat pernyataan, rekaman suara, percakapan di WhatsApp, dan bukti-bukti lainnya yang ia simpan dengan baik.

“Biarkan mereka membantah, kita akan bertemu di DKPP dan polisi. Di sana nanti kita akan buka semuanya,” ujar Akbar dengan nada geram.

Akbar merasa bahwa Muhaimin dan Masjidah telah merugikannya, termasuk melibatkan jaringan PPK yang berada di bawah kendali Masjidah, seperti Ketua PPK Tanjung Raja, Rasmiadi alias Anjang. Ia menegaskan bahwa semua bukti sudah dikumpulkan sejak awal.

Akbar membeberkan, Ia telah memberikan uang kepada Anjang Ketua PPK Tanjung Raja sebesar Rp 330 juta atas rekomendasi dari Masjidah.

“Semua bukti ada, kalian jangan pura-pura lupa. Sejak pertama kali bertemu, kami sudah siapkan buktinya, dan setiap kali kami berkomunikasi, bukti-bukti percakapan juga kami simpan,” tegas Akbar.

Dalam perkembangan terbaru, Akbar mengungkapkan bahwa jumlah uang yang diterima oleh Muhaimin bukan hanya Rp 100 juta, tetapi mencapai Rp 150 juta. Hal ini menambah kompleksitas kasus yang sedang menjadi perhatian publik.

Muhaimin dan Masjidah, yang telah membantah menerima uang tersebut, kini harus bersiap menghadapi proses hukum yang akan dijalankan di DKPP dan kepolisian. Akbar bertekad untuk mengungkap seluruh kebenaran dan menyeret pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan skandal ini ke hadapan hukum.

Kasus ini menambah deretan panjang persoalan yang membelit KPU Ogan Ilir, yang sebelumnya juga sudah terjerat berbagai masalah pelanggaran etik. Jika terbukti benar, kasus ini akan menjadi pukulan telak bagi integritas lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Sebelumnya diberitakan, polemik dugaan pelanggaran etik di lingkungan KPU Ogan Ilir kembali mencuat ke permukaan. Ahmad Muhaimin, yang dituding menjadi perantara pemberian uang Rp 100 juta dari Muhammad Akbar, eks caleg DPRD Sumsel dari Partai Golkar, kepada Masjidah, Ketua KPU Ogan Ilir, akhirnya angkat bicara.

Muhaimin mengakui bahwa dirinya memang pernah menerima uang dari Akbar. Namun, ia membantah keras bahwa uang tersebut untuk kepentingan politik atau diberikan kepada Masjidah. Menurutnya, uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi dan sudah dilunasi pada 20 Maret 2024.

“Benar, saya menerima uang dari Muhammad Akbar, namun uang tersebut saya gunakan untuk kepentingan pribadi saya dan telah dilunasi pada 20 Maret 2024. Saya tidak pernah menggunakan uang itu untuk kepentingan pemilu,” tegas Muhaimin dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke redaksi media ini.

Klarifikasi Muhaimin ini bertolak belakang dengan isi surat pernyataan ditandatanganinya yang viral, yang menyebutkan bahwa uang Rp 100 juta itu diserahkan kepada Masjidah pada 17 Januari 2024. Publik pun dibuat bingung, siapa yang sebenarnya berkata jujur dalam kasus ini.

Di sisi lain, Masjidah, saat dikonfirmasi mengenai tuduhan tersebut, dengan tegas membantah menerima uang tersebut. “Saya tidak tahu dari mana isu ini berasal dan apa motifnya. Yang jelas, saya tidak pernah menerima uang Rp 100 juta dari siapa pun,” ujar Masjidah melalui pesan singkat.

Kasus ini menambah deretan masalah yang membelit KPU Ogan Ilir, yang sebelumnya sudah tersandung pelanggaran kode etik dan administrasi akibat diduga meloloskan 50 anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan 1 anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang terafiliasi dengan parpol yang terdaftar di SIPOL, kini kasusnya tengah diaduhkan oleh Bawaslu Ogan Ilir ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Belum selesai kasus tersebut, datang pula kasus yang baru. Kali ini, dugaan suap sebesar Rp 100 juta kembali mencoreng lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Menurut pengakuan Muhammad Akbar, uang itu diserahkan melalui Ahmad Muhaimin, seorang dosen di UIN Raden Fatah Palembang, yang memiliki hubungan dekat dengan Masjidah.

Berdasarkan kronologi, pada 17 Januari 2024, Muhammad Akbar mentransfer uang sebesar Rp 100 juta ke rekening Ahmad Muhaimin dalam lima kali tahap. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Masjidah, sesuai dengan surat pernyataan yang telah beredar di publik.

Kronologi Uang

– Transfer I : Rp 50 juta pada 17 Januari 2024
– Transfer II : Rp 20 juta pada 17 Januari 2024
– Transfer III : Rp 10 juta pada 17 Januari 2024
– Transfer IV : Rp 10 juta pada 17 Januari 2024
– Transfer V : Rp 10 juta pada 17 Januari 2024

Uang tersebut kemudian diserahkan oleh Ahmad Muhaimin kepada Masjidah (berdasarkan surat pernyataan yang ditandatangani Muhaimin) pada hari yang sama dengan tanggal transfer.

Kasus ini membuat publik marah dan mempertanyakan integritas pejabat publik di KPU Ogan Ilir. Jika tuduhan ini terbukti benar, hal ini akan menjadi pukulan berat bagi demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu di Ogan Ilir.

Aktivis antikorupsi M Taqwa menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas dan integritas penyelenggara pemilu. “Jika terbukti, ini akan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap KPU dan merusak integritas lembaga tersebut,” kata Taqwa.

Surat pernyataan yang ditandatangani Ahmad Muhaimin.

Keterlibatan Akademisi dalam Skandal Uang Caleg

Ahmad Muhaimin, yang terlibat dalam skandal ini, diduga menggunakan posisinya untuk memfasilitasi transaksi tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana seorang akademisi dosen kampus Islam ternama UIN Raden Fatah Palembang bisa terlibat dalam praktik yang meragukan moralitas dan etika.

Aktivis Sumsel yang juga advokat muda, Amrillah, ikut angkat bicara. Ia menyoroti keterlibatan Ahmad Muhaimin, seorang akademisi yang pernah menjadi panitia seleksi (Pansel) Bawaslu Ogan Ilir, menambah dimensi baru dalam kasus ini.

“Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana seorang dosen yang seharusnya menjadi panutan moral dan menjunjung tinggi etika bisa terlibat dalam praktik ‘haram’ semacam ini,” ungkap Ketua LBH Harapan Rakyat Sumsel.

Terancam Sanksi Keras ‘PAW’?

Sebagai Ketua KPU Ogan Ilir seharusnya memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Dugaan penerimaan uang ini, jika nanti benar terbukti dapat dianggap sebagai pelanggaran etika serius, yang berpotensi merusak reputasi KPU Ogan Ilir secara keseluruhan.

Konsekuensi langsung dari pelanggaran ini bisa berupa Penggantian Antar Waktu (PAW) terhadap anggota KPU yang terlibat.

PAW adalah proses di mana seorang pejabat yang melanggar hukum atau etika dapat digantikan sebelum masa jabatannya berakhir. Dalam hal ini, dapat diberhentikan dan digantikan oleh calon anggota KPU lain yang lebih bersih.

Potensi Dampak pada Pemilukada

Kasus ini, jika tidak segera ditindaklanjuti dengan serius, berpotensi merusak proses pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) di Ogan Ilir. Kepercayaan masyarakat terhadap KPU Ogan Ilir yang sudah tergerus bisa semakin hilang, mengakibatkan partisipasi pemilih menurun dan menciptakan ketidakstabilan politik lokal.

Ketua Gerakan Masyarakat Anti Korupsi Ogan Ilir, M Taqwa, berharap DKPP menangani kasus ini dengan adil dan tegas. “KPU Ogan Ilir kini berada di bawah sorotan tajam. Publik berharap DKPP akan bertindak adil tanpa berpihak,” pungkasnya. **