BANYUASIN, TRIBUNEPOS.COM – Kasus dugaan pemukulan oleh oknum salah satu Komisioner Bawaslu Banyuasin berinisial RZ terhadap staf ASN Bawaslu, Hadi Susanto, terus bergulir dan kini masuk babak baru.
Hadi Susanto resmi telah melaporkan RZ ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta belum lama ini.
Langkah hukum DKPP ini diambil setelah insiden pemukulan yang terjadi pada Selasa (6/8/2024) lalu di tengah rapat internal Bawaslu Banyuasin, terhadap dirinya oleh oknum RZ.
Kilas balik, kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 09:00 WIB di kantor Bawaslu Banyuasin, Kelurahan Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III.
Rapat yang awalnya sudah terasa aura tak enak, berubah menjadi tegang ketika perdebatan antara Hadi Susanto, yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dana Hibah Pilkada, dengan RZ, salah seorang komisioner Bawaslu, memanas.
Ketegangan tersebut dipicu oleh masalah pencairan dana perjalanan dinas yang menurut Hadi tidak kunjung dicairkan.
RZ, yang merasa tidak puas dengan proses pencairan tersebut, kerap kali menghubungi Hadi melalui aplikasi pesan WhatsApp.
Ketika pesan-pesan tersebut tidak mendapat tanggapan, RZ menduga bahwa Hadi sengaja mengabaikannya dengan memblokir nomor WhatsApp-nya.
Kekecewaan RZ mencapai puncaknya saat rapat berlangsung, dan insiden tersebut pun pecah menjadi konfrontasi fisik yang berujung pada pemukulan terhadap Hadi.
Akibatnya, Hadi mengalami luka lebam di kening dan lecet di hidung.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240807-WA0007.jpg)
Dalam keterangannya kepada Tribunepos.com, Hadi menceritakan kejadian tersebut dengan perasaan tidak percaya.
“Saya tidak menduga hal ini bisa terjadi, pak. Anggap saja ini musibah yang harus saya hadapi,” ujarnya dengan nada yang masih terkejut.
Berdasarkan keterangan saksi yang hadir dalam rapat tersebut, insiden pemukulan ini terjadi secara tiba-tiba.
Hadi, yang merasa tersudut, diduga menarik kerah baju RZ sebagai bentuk perlawanan.
RZ, yang mengaku terprovokasi oleh tindakan Hadi, kemudian melakukan pemukulan yang menyebabkan luka lebam di kening dan lecet di hidung Hadi.
Rapat yang seharusnya menjadi forum pembahasan justru berubah menjadi ajang kekerasan yang mencoreng nama baik institusi Bawaslu.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240806-WA0049-1024x454-1.jpg)
Setelah insiden tersebut, Hadi segera melaporkan kejadian ini ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Banyuasin untuk ditindaklanjuti.
Di bawah pendampingan kuasa hukumnya, Andri Irani, SH, C.Med, Hadi juga membawa kasus ini ke DKPP sebagai pelanggaran etik yang serius.
Andri memastikan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga kliennya mendapatkan keadilan.
“Kami akan memastikan bahwa pelaku mendapatkan sanksi hukum dan etik yang setimpal,” tegas Andri.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/1000189693.jpg)
Reaksi Publik dan Tuntutan Masyarakat
Tindakan yang diduga dilakukan oleh RZ segera memicu reaksi keras dari kelompok masyarakat Banyuasin.
Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Kabupaten Banyuasin, yang dikenal sebagai organisasi pengawas independen, dengan tegas mengecam tindakan tersebut.
Indo Sapri, Ketua JPKP Banyuasin, menyatakan bahwa perbuatan kekerasan oleh pejabat publik adalah pelanggaran serius yang tidak boleh dibiarkan.
“Tindakan kekerasan, terutama oleh pejabat publik, adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir. Kami menuntut agar aparat hukum segera bertindak tegas,” ujarnya.
Tidak hanya itu, JPKP juga telah melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes atas insiden ini, pada 12 Agustus 2024 lalu.
Dalam aksi yang berlangsung di depan Kantor Bawaslu Banyuasin dan Mapolres Banyuasin tersebut, JPKP membawa dua tuntutan utama: penetapan RZ sebagai tersangka dan pengunduran diri seluruh komisioner Bawaslu Banyuasin.
“Kami menganggap bahwa kepemimpinan Bawaslu saat ini tidak mampu menjaga integritas lembaga.
Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan Pilkada di Banyuasin,” tandas Indo Sapri.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240807-WA0008.jpg)
Klarifikasi dan Bantahan RZ
Di tengah gelombang kecaman, RZ akhirnya angkat bicara. Dalam keterangan pers yang diterima Tribunepos.com, RZ dengan tegas membantah tuduhan penganiayaan tersebut.
Menurutnya, tindakan yang ia lakukan semata-mata adalah upaya perlindungan diri setelah dirinya merasa terancam oleh tindakan Hadi yang menarik kerah bajunya.
“Yang sebenarnya terjadi adalah saya sedang berusaha menjaga marwah organisasi. Ketika saya merasa terancam, saya hanya berusaha melindungi diri,” jelas RZ.
RZ juga menegaskan bahwa insiden tersebut tidak lebih dari salah paham yang berkembang menjadi perkelahian.
Ia berharap agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan dan berjanji untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
“Saya berharap insiden ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Saya siap mengikuti proses hukum dengan kooperatif,” tambahnya.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240807-WA0015.jpg)
Tanggapan Kalangan Hukum: Pemecatan Sebagai Langkah Tegas
Insiden ini juga mendapatkan perhatian dari kalangan hukum. Widodo SH, yang menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) KAHMI Sumsel,
Menilai bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik adalah pelanggaran berat yang harus direspon dengan pemecatan.
“Seorang pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi hukum dan etika.
Perbuatan main hakim sendiri seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” tegas Widodo.
Widodo, yang juga dikenal sebagai Ketua Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile, menambahkan bahwa tindakan RZ mencerminkan karakter pejabat yang tidak layak menduduki jabatan publik.
“Ini bukan hanya masalah pelanggaran hukum, tapi juga soal integritas moral. Pejabat yang tidak mampu mengendalikan emosinya dan menggunakan kekerasan tidak sepatutnya dibiarkan tetap menjabat,” tandasnya.
Selain itu, Widodo menekankan pentingnya penegakan disiplin dan etika dalam kepemimpinan publik.
Menurutnya, kasus ini harus menjadi peringatan bagi semua pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika.
“Kasus ini adalah cermin buruk bagi kepemimpinan publik. Pejabat publik harus selalu ingat bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral yang besar terhadap masyarakat yang mereka layani,” pungkas Widodo.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240807-WA0034.jpg)
Implikasi dan Harapan Publik
Kasus yang menimpa Hadi Susanto ini bukan hanya sekadar masalah individu, tetapi juga mencerminkan problematika yang lebih luas dalam tata kelola etika di Bawaslu.
Banyak pihak menilai bahwa insiden ini menandakan adanya celah besar dalam mekanisme pengawasan dan penegakan disiplin di Bawaslu Banyuasin.
Kejadian ini, jika tidak ditangani dengan serius, dikhawatirkan dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas pemilu yang seharusnya menjadi pilar dalam menjaga demokrasi di Indonesia.
Masyarakat Banyuasin, yang sebagian besar kini semakin kritis terhadap perilaku pejabat publik, menaruh harapan besar bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan adil dan transparan.
Mereka menginginkan agar pelaku kekerasan, siapa pun dia, mendapatkan sanksi yang setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.
![](https://tribunepos.umbaran.com/wp-content/uploads/2024/08/IMG-20240807-WA0003.jpg)
Di sisi lain, masyarakat juga berharap agar Bawaslu Banyuasin segera melakukan evaluasi internal untuk mencegah terjadinya insiden serupa di masa depan.
Kasus ini telah mengajarkan kepada kita semua bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak pernah menjadi solusi.
Penegakan hukum dan etika harus menjadi landasan dalam setiap tindakan, terlebih bagi mereka yang dipercaya mengemban tugas sebagai pejabat publik seperti Komisioner Bawaslu dan KPU.
Kini, bola berada di tangan pihak berwenang—akankah keadilan ditegakkan, ataukah insiden ini akan menjadi noda hitam dalam sejarah kepemiluan di Banyuasin? Hanya waktu yang akan menjawab. (*)