- Belum Ada Pelatihan Bikin Selai dan Keripik
Laporan Jurnalis: Adya A Cahya/ Tribunepos Ogan Ilir
OGAN ILIR, TRIBUNEPOS — Di hamparan kebun nanas seluas dua hektare di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Batu, Ogan Ilir, Sumsel, Pegi (19) tampak sibuk merapikan batang nanas yang mulai berbuah. Setiap hari, pemuda ini menghabiskan waktunya merawat sekitar 50 ribu batang tanaman milik keluarganya.
Namun, hasil jerih payah itu tak selalu berbuah manis.
“Kalau pasokan di Jakarta banyak, harga turun. Kadang sampai tidak laku, nanas membusuk di kebun,” kata Pegi kepada Tribunepos, Kamis (28/8/25).
Nanas dari kebun Payaraman biasanya dipanen setelah melalui proses karbit selama empat bulan. Sekali angkut, sebuah truk bisa memuat ribuan buah. Dari desa, nanas hanya berhenti sejenak di tangan pengepul, lalu langsung dikirim ke pasar ibu kota.
Masalahnya, harga di Jakarta menentukan segalanya. Tanpa alternatif pengolahan, nasib petani sangat bergantung pada naik-turunnya pasar.
“Belum ada pelatihan untuk bikin selai atau keripik. Jadi kami hanya bisa jual nanas segar,” ujar Pegi.
Kepala Desa Tanjung Lalang, Juma’adin saat dikonfirmasi lewat telepon, mengamini persoalan itu. Ia menyebut belum pernah ada sosialisasi dari dinas pertanian atau instansi terkait mengenai inovasi produk turunan nanas.
“Kalau harga jatuh, warga rugi. Kami berharap ada pendampingan dan pelatihan agar nanas bisa diolah jadi produk bernilai lebih,” ujarnya.
Harapan itu kini menggantung. Di tengah harga yang fluktuatif, para petani nanas di Tanjung Lalang masih bertahan dengan cara lama, menjual hasil panen apa adanya, sambil menunggu uluran tangan pemerintah untuk membuka jalan baru bagi buah tropis yang manis ini. **