TRIBUNEPOS – Dugaan pemalsuan ijazah S1 Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh mantan Presiden Joko Widodo kembali mengguncang opini publik.
Munculnya novum—bukti baru—yang mengindikasikan kejanggalan dalam dokumen akademik orang nomor satu di Indonesia itu berpotensi mengubah jalannya hukum.
Jika benar adanya, konsekuensinya bisa jauh lebih besar dari sekadar rehabilitasi nama baik seseorang.
Salah satu pihak yang paling berkepentingan dalam temuan ini adalah Bambang Tri Mulyono.
Pria yang pertama kali secara lantang menuduh pemalsuan ijazah Jokowi itu kini mendekam di penjara, dijerat dengan pasal penyebaran berita bohong.
Namun, jika novum tersebut terbukti valid, maka tuduhan yang selama ini menjeratnya layak dievaluasi ulang.
Dalam prinsip hukum, bukti baru (novum) dapat menjadi dasar kuat untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jika Bambang Tri mampu membuktikan bahwa tuduhannya bukan sekadar hoaks, melainkan upaya mencari kebenaran, maka vonis terhadapnya bisa dibatalkan.
Namun, pertanyaan yang lebih besar mengemuka, siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab?
Jika ijazah tersebut benar-benar palsu, dampaknya akan sangat serius.
Pertama, Jokowi bisa dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
Kedua, legitimasi seluruh jabatan yang pernah diembannya, termasuk sebagai Presiden Republik Indonesia, akan dipertanyakan.
Ketiga, pihak yang mengesahkan dokumen tersebut—baik dari institusi pendidikan maupun lembaga negara—harus ikut bertanggung jawab.
Namun, di Indonesia, hukum sering kali berjalan dalam lanskap politik. Bukti baru tidak serta-merta berarti keadilan akan ditegakkan.
Sejarah telah menunjukkan bagaimana kasus-kasus besar sering kali mandek di tengah jalan ketika bersinggungan dengan kepentingan penguasa.
Jika tuduhan yang selama ini dilontarkan Bambang Tri ternyata benar, maka ia bukan sekadar seorang narapidana, melainkan sosok yang berani membongkar kebohongan besar.
Dalam sejarah, banyak orang yang awalnya dicap sebagai penyebar fitnah justru di kemudian hari diakui sebagai pejuang kebenaran.
Jika rehabilitasi nama baiknya dilakukan, Bambang Tri bisa menjadi ikon perlawanan terhadap ketidakadilan dan represi oleh penguasa.
Namun, kemungkinan besar negara akan berusaha membungkam atau meredam kasus ini agar tidak berkembang lebih luas.
Munculnya novum baru membuka celah bagi Bambang Tri untuk mencari keadilan. Jika hukum benar-benar ditegakkan tanpa intervensi politik, maka ada dua kemungkinan besar yang bisa terjadi:
Jokowi dan pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan pemalsuan ijazahnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
Namun, pertarungan antara keadilan dan kepentingan politik masih terus berlangsung. Apakah kebenaran akan menang, atau justru terkubur oleh kepentingan kekuasaan?

Mengenal Bambang Tri Mulyono
Nama Bambang Tri Mulyono terus menjadi pembicaraan hangat. Namanya awal mula mencuat ke permukaan setelah menerbitkan buku Jokowi Undercover. Banyak sisi negatif presiden ketujuh Indonesia itu diungkap di buku itu.
Tak hanya menulis buku, Bambang Tri juga aktif menyuarakan isi bukunya tersebut di media sosial. Terutama Facebook. Status-status yang ditulisnya terbilang berani dan menantang.
Status-statusnya tidak hanya ditujukan kepada Joko Widodo (Jokowi), tapi juga instansi lain seperti Polri. Bambang Tri juga menegaskan siap menghadapi segala risiko. Termasuk dipenjara dan diseret ke meja hijau.
Dalam sebuah video yang diunggah 23 Desember 2016, Bambang Tri menyebut langkahnya itu sebagai aksi bela negara.
”Saya tidak rela lembaga kepresidenan dilecehkan seseorang yang memalsukan daftar riwayat hidupnya,” kata Bambang Tri dalam video berdurasi 1 menit 29 detik tersebut.
Siapa sebenarnya Bambang Tri?
Bambang Tri bertempat tinggal di Dusun Jambangan, Desa Sukorejo, Kecamatan Tunjungan, Blora, Jawa Tengah.
Menurut cerita para tetangganya, didapatkan fakta bahwa Bambang Tri ternyata berasal dari keluarga cukup terpandang.
Dia merupakan adik Bambang Sadono, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan ketua Badan Pengkajian MPR.
Bambang Sadono juga tercatat sebagai mantan wakil ketua DPRD Jawa Tengah dan politikus Partai Golkar.
”Bambang Sadono kan tinggal di Jakarta. Jadi, rumah yang ini ditempati Bambang Tri,” terang seorang tetangga Bambang Tri.
Bangunan tempat tinggal Bambang Sadono yang dihuni Bambang Tri itu berdiri di atas tanah yang cukup luas. Di bagian depan ada pendapa.
Sedangkan tempat tinggalnya berada di belakang pendapa. Lokasinya memanjang. Dari timur ke barat.
Di bagian depan rumah tertera papan nama sebuah organisasi keagamaan. Hampir semua orang Blora kenal rumah Pak DPR (Bambang Sadono, Red).
Meski mengenal Bambang Sadono sebagai anggota dewan, para tetangga tidak terlalu tahu aktivitas Bambang Tri. Mereka hanya mengetahui bahwa di rumah tersebut sering diadakan pertemuan.
”Yang kami tahu kegiatannya itu mencari berita,” ujar para tetangga.
Mereka pun tak pernah tahu Bambang Tri menerbitkan buku. Termasuk buku Jokowi Undercover. Bisa dimaklumi.
Sebab, tempat tinggal Bambang Tri tergolong pedesaan. Orang-orang lebih banyak beraktivitas di sawah dan ladang.
Identitas Bambang Tri sedikit terang ketika menyambangi Perpustakaan PATABA.
Perpustakaan itu berdiri di rumah masa kecil sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dikelola Soesilo Toer, yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari rumah Bambang Tri.
Soesilo menyebut Bambang Tri sebagai sufirizik. Apa itu? ”Ngakunya sufi, tapi masih suka mencari rezeki,” kelakar adik kandung Pramoedya tersebut.
Soesilo mengungkapkan, beberapa waktu lalu Bambang Tri sempat mampir ke PATABA. Kepada Soesilo, Bambang Tri menyampaikan sebuah permintaan.
”Dia meminta saya menjadi saksi meringankan kalau disidang,” ujarnya.
Pria 79 tahun itu sempat tersinggung. Sebab, dia tidak mengerti apa yang dikerjakan Bambang Tri, tahu-tahu diminta menjadi saksi.
Saat disinggung soal buku Jokowi Undercover, Soesilo juga tidak mengerti sama sekali. Selain belum pernah membacanya, tahu sampul bukunya saja tidak.
Soesilo menduga Bambang Tri memiliki afiliasi politik yang berbeda dengan Jokowi.
Dugaan tersebut didasarkan pada arah pembicaraan Bambang Tri saat bertamu ke PATABA.
Soesilo tidak memungkiri bahwa Bambang Tri beberapa kali datang ke PATABA. Bahkan, dia pernah datang dengan anaknya.
”Bukunya itu hanya cari sensasi. Saya juga sempat bilang ke dia, kalau dia minta saya jadi saksi, artinya dia itu punya salah. Kalau tidak salah, ngapain harus membawa saksi,” ujar Soesilo.

Kepolisian Blora sudah cukup lama mengamati Bambang Tri. Polisi mengidentifikasi dia sebagai pria yang vokal. Karena itu, polisi tidak terlalu heran begitu mendapat kabar bahwa Bambang Tri membuat buku cukup berani.
Sebelum dibawa ke Jakarta, Bambang Tri disebut menjalani pemeriksaan di Mapolsek Tunjungan, Blora.
Bambang Sadono, kakak Bambang Tri mengaku tidak tahu apa motif adiknya menulis buku Jokowi Undercover.
Apalagi dia juga belum membaca buku tersebut. Tapi, pekerjaan Bambang Tri memang penulis buku. **