TRIBUNEPOS, JAKARTA — Wajah pendidikan tinggi Indonesia kembali tercoreng. Program andalan pemerintah—Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah)—yang seharusnya menjadi penyambung hidup mahasiswa miskin berprestasi, justru berubah menjadi ladang bancakan oleh oknum-oknum tak bermoral.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi resmi menyatakan telah menerima laporan penyalahgunaan KIP Kuliah dalam berbagai bentuk: pungutan liar, pemotongan dana bantuan, penguasaan kartu ATM mahasiswa, hingga penerima fiktif.
“Kami menemukan kasus pengelola menahan kartu ATM mahasiswa, memotong biaya hidup, bahkan kasus penerima fiktif. Ini pelanggaran berat yang mengkhianati amanah publik,” tegas Menteri Pendidikan Tinggi Prof. Brian Yuliarto, belum lama ini kepada media.
Namun, bau busuk culas itu bukan hanya terjadi di satu dua tempat. Praktik menjijik-kan ini ternyata juga tercium menyengat di salah satu kampus swasta besar di kota Serang, Banten.
Tahun 2024 lalu, kampus ini tercatat menerima lebih dari 1.000 mahasiswa penerima KIP Kuliah. Tahun 2025 ini, jumlahnya melonjak hingga diperkirakan lebih dari 1.500 penerima. Alih-alih membanggakan, angka ini justru menyimpan luka tersembunyi yang membusuk.
“Ada laporan bahwa praktik pemotongan dan penahanan kartu ATM juga terjadi di sana. Bahkan indikasi kuat menunjukkan beberapa penerima bukan berasal dari keluarga kurang mampu. Kita sedang melihat sistem yang dibajak oleh kepentingan,” ungkap seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya demi keselamatan.
Negara Bayar, Mafia Pendidikan Menikmati
KIP Kuliah bukan dana kecil. Pemerintah menggelontorkan triliunan rupiah tiap tahun untuk menyokong anak bangsa dari keluarga tidak mampu. Bantuan diberikan dalam bentuk biaya hidup bulanan hingga Rp 1,4 juta, ditambah biaya pendidikan hingga Rp 12 juta per semester. Tapi jika praktik culas ini dibiarkan, apa bedanya beasiswa dengan ladang bisnis?
Mahasiswa korban menyebut mereka diminta “berbagi” dengan pengelola. Ada juga yang tidak pernah memegang sendiri ATM-nya, karena dikuasai oleh pihak kampus dengan dalih pengamanan atau efisiensi. Padahal, jelas dalam aturan: seluruh dana itu adalah hak mahasiswa, dan tidak boleh dipotong dengan alasan apapun.
Pendidikan yang Diperkosa oleh Oportunisme
Skema KIP Kuliah seharusnya menjadi wajah keadilan sosial. Namun kini, wajah itu tercoreng menjadi simbol ketimpangan, manipulasi, dan persekongkolan. Ketika mahasiswa miskin dipaksa diam, dan kampus sewenang-wenang memainkan data dan dana, kita sedang menyaksikan pemerkosaan sistem pendidikan oleh para oportunis berjubah akademik.
Menteri Sudah Bicara, Sekarang Saatnya Aparat Bergerak
Seruan Menteri Brian agar masyarakat melaporkan segala bentuk penyimpangan harus disambut dengan aksi nyata dari aparat penegak hukum. Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK tidak boleh tinggal diam. Jangan biarkan mafia beasiswa bersembunyi di balik nama institusi pendidikan.
“Laporkan ke kanal resmi kami, termasuk media sosial. Semua laporan akan kami tindak lanjuti,” tegas Menteri Brian.
Jangan Biarkan Culas Ini Jadi Budaya
KIP Kuliah adalah amanah rakyat. Ia adalah harapan terakhir banyak mahasiswa untuk bisa menginjakkan kaki di kampus. Jika program ini berubah menjadi arena pencurian berjemaah, maka yang dirampok bukan hanya uang negara—tapi masa depan bangsa.
Pendidikan tinggi tidak boleh dikuasai oleh calo moral dan tikus birokrasi. Jika tidak segera dibersihkan, maka kita sedang memelihara generasi dengan mental maling yang dilegalkan oleh sistem.
Jangan Diam. Suarakan. Lawan. Karena mencuri KIP Kuliah bukan sekadar kejahatan, itu kejahatan terhadap harapan. **