PALEMBANG, TRIBUNEPOS – H. Heru Supeno, Kepala SMA Negeri 18 Palembang, akan memberikan penjelasan langsung kepada Komisi V DPRD Sumsel mengenai sejumlah tuduhan terkait pungutan liar, penahanan ijazah, dan kekerasan verbal terhadap siswa.
Dalam pesan singkat WhatsApp kepada salah satu media, Heru menyatakan, “Saya akan hadir di Komisi V untuk memberikan klarifikasi secara langsung. Tidak perlu klarifikasi melalui media.”
Pemanggilan ini memicu beragam reaksi dari publik. Sebagian mendukung, sementara yang lain memperingatkan agar DPRD bersikap objektif dan tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu.
“DPRD harus menilai informasi secara cermat dan adil, tanpa memihak pada salah satu pihak sebelum fakta terungkap,” ujar seorang aktivis, Herman Timur, Kamis (25/7/2024).
Isu ini mengundang perhatian luas, dengan harapan agar tidak menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Ketua Komisi V, Mgs. H. Syaiful Padli, menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti setiap pengaduan, khususnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
Dia menyatakan, jika ada indikasi kriminalitas, kasus ini akan diteruskan ke aparat penegak hukum. Kepala sekolah yang bersalah harus menerima sanksi tegas dari Dinas Pendidikan, bahkan pemecatan.
Politisi PKS ini juga menambahkan bahwa pada 2 Agustus 2024, Komisi V berencana memanggil para pihak terkait untuk melakukan konfrontasi dan klarifikasi. Jika terbukti ada pelanggaran, kasus ini akan dilanjutkan ke ranah hukum.
Dalam proses ini, pihaknya berencana memanggil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumsel, Kepala SMA Negeri 18 Palembang, Ketua Inspektorat, dan MKKS, serta beberapa pihak terkait lainnya untuk konfrontasi dan klarifikasi. Jika terdapat unsur pidana, kasus ini akan diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH).
Sementara itu, Juru Bicara GKJI, Ade Indra Chaniago dalam pernyataannya di beberapa media, mengungkapkan bahwa mereka datang ke DPRD Provinsi Sumsel untuk menyampaikan keluhan para guru dan siswa yang merasa dirugikan oleh oknum Kepala SMA Negeri 18 Palembang.
Ade mengkritik penahanan ijazah siswa yang belum membayar uang komite, yang jumlahnya melonjak dari Rp 600 ribu menjadi Rp 2,6 juta.
Dia mengatakan, perbuatan seperti ini sangat zalim. Siswa sering dihina jika tidak mampu membayar, dan yang ingin mengambil ijazahnya dipaksa menandatangani surat perjanjian.
Ade menegaskan bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan, bukan pasar untuk mencari keuntungan.
Menurutnya, guru seharusnya menjadi teladan, bukan pelaku pungli. Ia berharap kepala sekolah segera diganti dan tidak ada lagi kejadian serupa di masa depan.
Dia membeberkan, beberapa oknum guru yang meminta namanya dirahasiakan mengakui adanya sikap arogan dari Kepala Sekolah terhadap guru dan siswa. Mereka merasa terintimidasi dan terpaksa memberikan kontribusi dari uang sertifikasi mereka. Pihaknya berharap dengan mengadu ke Komisi V, akan bisa mendapatkan solusi terbaik. (*)