Scroll untuk baca artikel
ArtikelBeritaSejarah

Kilas Sejarah: Stasiun Demak, Ikon Kereta Api yang Menghilang

×

Kilas Sejarah: Stasiun Demak, Ikon Kereta Api yang Menghilang

Sebarkan artikel ini
Stasiun Demak (DM), sebuah stasiun kereta api yang kini tidak lagi aktif, menyimpan sejarah panjang di jantung Kabupaten Demak. (Dok. Tribunepos.umbaran.com)

TRIBUNEPOS.COM – Stasiun Demak (DM), sebuah stasiun kereta api yang kini tidak lagi aktif, menyimpan sejarah panjang di jantung Kabupaten Demak. Terletak di Bintoro, stasiun ini pernah menjadi pusat aktivitas transportasi di bawah pengelolaan Kereta Api Indonesia Wilayah Aset IV Semarang.

Diresmikan pertama kali pada 27 September 1883 oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), perusahaan kereta api Hindia Belanda, Stasiun Demak menjadi penghubung vital antara Semarang dan Juwana di Pati.

Lokasinya saat itu berada di pusat kota Demak, tepatnya di sekitar Pasar Tradisional Bintoro. Untuk menghubungkan Demak dengan pusat ibu kota Kabupaten Grobogan, dibangunlah jalur cabang menuju Stasiun Purwodadi.

Stasiun Demak generasi kedua yang kini dikenang, dibangun kembali oleh SJS dan diresmikan dengan pesta meriah pada malam hari, 25 April 1921.

Bangunan baru ini menggantikan stasiun lama yang terletak di pusat kota, memindahkan jalurnya ke arah barat daya guna mendukung peningkatan layanan kereta api.

De Locomotief, koran terkemuka kala itu, mencatat bahwa stasiun ini mulai beroperasi pada Rabu, 27 April 1921. Perancangan bangunan dipercayakan kepada van Nijmegen Sehonegevel sebagai insinyur, van Leeuwen sebagai arsitek, dan Widagdi sebagai pengawasnya.

Namun, pada 1986, jalur kereta api Kemijen-Rembang ditutup. Kondisi prasarana yang tua dan kerugian finansial akibat banyaknya penumpang gelap, ditambah persaingan ketat dengan kendaraan pribadi dan angkutan umum, memaksa Perusahaan Djawatan Kereta Api (PJKA) mengambil keputusan tersebut.

Stasiun Demak (DM), sebuah stasiun kereta api yang kini tidak lagi aktif, menyimpan sejarah panjang di jantung Kabupaten Demak. (Dok. Tribunepos.umbaran.com)

Meskipun begitu, jejak kejayaan Stasiun Demak masih terlihat dalam foto-foto koleksi de Jong dalam buku ‘Spoorwegstations op Java’ yang diterbitkan pada 1993, menampilkan bangunan stasiun dengan atap dan jalur yang sudah mangkrak pada tahun 1990. Jalur-jalur ini kemungkinan besar dibongkar antara tahun 1996 hingga akhir 1990-an.

Bangunan Stasiun Demak mengadopsi arsitektur Hindia Baru (Nieuwe Indische Bouwstijl) dengan atap yang diekspos artistik. Sebagai stasiun besar, stasiun ini menjadi pusat kegiatan pengangkutan barang dan penumpang di Demak.

Dalam cetak biru era Belanda, Stasiun Demak memiliki 7 jalur: jalur 2 sebagai sepur lurus ke Semarang atau Kudus, jalur 3 sebagai sepur lurus menuju Purwodadi, 1 peron sisi, dan 3 peron pulau.

Dari jalur 1, terdapat sepur belok untuk bongkar muat barang dan sepur badug menuju gudang. Dilengkapi kanopi sepanjang 120 meter dengan tinggi 7,5 meter, depot lokomotif, menara air, dan gudang, stasiun ini menjadi saksi bisu geliat transportasi masa lalu Demak. (*)

Oleh: Sandi Pusaka Herman (Pemimpin Redaksi Tribunepos.com)

 

Jadilah bagian dari perjuangan Tribunepos, bangun Indonesia dengan Literasi!