OGAN ILIR, TRIBUNEPOS.COM – Kabupaten Ogan Ilir kini menjadi pusat perhatian setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ogan Ilir ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 4 Juni 2024 lalu.
Laporan tersebut menyoroti dugaan pelanggaran etik dalam rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang terdaftar di Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) dan diduga memiliki afiliasi politik.
Menurut temuan Bawaslu Ogan Ilir, ada 51 penyelenggara pemilu yang diduga terafiliasi dengan partai politik tertentu, yang bisa memengaruhi netralitas mereka dalam proses pemilihan.
Setelah melakukan klarifikasi terhadap berbagai pihak—termasuk pelapor, terlapor, serta saksi dan bukti-bukti terkait—Bawaslu memutuskan bahwa ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh lima komisioner KPU Ogan Ilir.
Kelima orang tersebut terdiri dari Ketua KPU Masjidah dan empat anggotanya: Rusdi Daduk, Arbain, Robi, serta Yahya.
Hampir sudah dua bulan sejak laporan tersebut, masyarakat masih menanti jadwal persidangan DKPP. Pencarian informasi di situs resmi DKPP belum menunjukkan hasil.
Kabar terbaru mengindikasikan bahwa Bawaslu Ogan Ilir telah menghadap DKPP di Jakarta untuk menyempurnakan laporan, sehingga penetapan jadwal sidang kini tinggal menunggu.
Ketidakpastian ini semakin memicu spekulasi dan kekhawatiran di kalangan publik. Sementara beberapa pihak berharap DKPP akan mengambil tindakan tegas, terdapat pandangan berbeda tentang hasil dari persidangan ini.
Beberapa kalangan memperkirakan bahwa DKPP kemungkinan hanya akan memberikan peringatan biasa kepada KPU Ogan Ilir tanpa mengambil langkah lebih lanjut.
Argumen ini berdasarkan anggapan bahwa pelanggaran yang terjadi mungkin tidak cukup berat untuk merusak kredibilitas penyelenggara pemilu secara drastis.
Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa pelanggaran ini bisa dianggap sebagai pelanggaran serius yang berpotensi menyebabkan pemberhentian secara tidak hormat bagi para komisioner KPU yang terlibat.
Pendapat ini didasari oleh dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan pengabaian terhadap prinsip netralitas dalam rekrutmen PPK dan PPS.
Keterlambatan dalam penetapan jadwal sidang DKPP juga memunculkan spekulasi tentang kemungkinan adanya pengaruh kekuatan politik dalam kasus ini.
Beberapa rumor mengindikasikan bahwa pihak-pihak tertentu mungkin berusaha memengaruhi jalannya persidangan atau menunda prosesnya.
Hal ini semakin menambah keraguan publik tentang transparansi dan keadilan dalam menangani kasus ini.
Di sisi lain, M. Taqwa, seorang warga Ogan Ilir, menyatakan oftimis kasus ini akan bersidang di DKPP. Ini soal waktu saja.
Menurutnya, bahwa pelanggaran ini berpotensi berdampak serius pada legitimasi proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) jika status 51 anggota PPS dan PPK yang terafiliasi dengan partai politik tidak segera ditindaklanjuti.
Dikatakan Taqwa, penyalahgunaan wewenang dan pengabaian terhadap prinsip netralitas bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan merusak integritas penyelenggaraan pemilihan.
Di sisi lain, kelompok Kelompok Aliansi Aktivis Penyelamat Demokrasi Ogan Ilir, menyatakan dukungan penuh terhadap tindakan Bawaslu dan berharap DKPP dapat melakukan proses hukum dengan transparan dan adil. Mereka berharap agar semua pihak yang terlibat dalam kasus ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Publik luas Ogan Ilir dan para pemangku kepentingan kini semakin menantikan sidang DKPP dengan penuh harapan bahwa kasus ini dapat diselesaikan secara profesional dan adil, guna menjaga integritas dan kredibilitas sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Ogan Ilir 2024. (*)