Oleh: Oktaria Saputra (Ketua Umum DPP PGNR)
INDONESIA memasuki babak baru pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Di pundaknya, terletak tanggung jawab besar untuk membawa Indonesia mencapai visi besar yang telah dirancang.
Bersama para menteri dan wakilnya, Kabinet Merah Putih memulai langkah awal dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Dalam hitungan hari setelah pelantikan, para menteri mulai menunjukkan wajah mereka di hadapan publik.
Masing-masing memperkenalkan pandangan, kebijakan, serta visi mereka terhadap bidang yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Namun, seperti halnya setiap awal pemerintahan, beberapa pernyataan muncul dan menuai kontroversi di tengah masyarakat.
Di antara sosok yang paling disorot adalah Yusril Ihza Mahendra dan Natalius Pigai, yang membawa isu HAM kembali menjadi bahan perbincangan panas.
Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, membuat pernyataan yang mengejutkan.
Ia menyatakan bahwa peristiwa pelanggaran HAM pada tahun 1998 tidak tergolong sebagai pelanggaran berat.
Tak ayal, publik segera bereaksi, terutama mereka yang masih mengingat duka dan trauma peristiwa tersebut.
Meski Yusril mencoba mengklarifikasi bahwa pertanyaan yang diajukan wartawan tidak jelas sehingga mempengaruhi jawabannya, keraguan masyarakat telah terlanjur muncul.
Klarifikasi ini justru memperlihatkan pentingnya kehati-hatian dalam berbicara di ruang publik, terutama terkait isu sensitif seperti HAM.
Di sisi lain, Natalius Pigai, Menteri HAM, memancing polemik ketika mengajukan usulan peningkatan anggaran kementeriannya hingga 20 triliun.
Angka tersebut dianggap tak wajar oleh banyak pihak, terutama karena banyak kasus HAM yang masih menggantung tanpa kejelasan.
Publik bertanya-tanya, untuk apa anggaran sebesar itu jika penanganan kasus HAM lama saja belum tuntas, terutama yang terkait dengan era Orde Baru dan Reformasi.
Kedua peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya sikap kenegarawanan dan kehati-hatian dalam menjalankan tugas sebagai pejabat publik.
Menteri bukan hanya eksekutor kebijakan, mereka juga menjadi wajah pemerintah di mata masyarakat.
Oleh karena itu, setiap langkah, keputusan, bahkan ucapan mereka harus dipikirkan secara matang agar tidak menciptakan kegaduhan yang tidak perlu.
Sebagai pemimpin tertinggi, Presiden Prabowo Subianto tentu memiliki tugas besar untuk terus mengawasi kinerja para menterinya. Terutama ketika berbicara mengenai isu-isu yang sensitif di tengah masyarakat.
Evaluasi yang ketat dan profesional menjadi kunci agar kabinet ini berjalan sesuai harapan rakyat.
Ketegasan dalam menangani persoalan-persoalan seperti ini akan menjadi ujian awal bagi kepemimpinan Prabowo dan kabinetnya. **