Laporan Jurnalis: Tri Andini Firdanti/ Tribunepos Ogan Ilir
OGAN ILIR, TRIBUNEPOS — Terik matahari siang itu menyengat Desa Muara Kumbang, Kabupaten Ogan Ilir. Di halaman rumah-rumah kayu, terlihat hamparan padi dijemur di atas terpal biru. Bau gabah kering bercampur debu tanah menjadi aroma khas musim panen.
Bagi warga desa ini, mayoritas yang berprofesi sebagai petani padi, pemandangan itu adalah denyut utama kehidupan.
Setiap musim panen, hasil sawah menjadi sumber penghidupan—dijual untuk membayar utang, biaya sekolah anak, hingga membeli pupuk dan benih untuk musim tanam berikutnya.
Namun, di balik riuh panen, ada kegelisahan yang selalu berulang. Harga gabah tak pernah benar-benar stabil. Rp5.500 per kilogram jika kualitas dianggap rendah, bisa naik menjadi Rp6.500 per kilogram bila bulir padi kering dan bersih. Semua keputusan ada di tangan tengkulak yang datang langsung ke desa.
“Kalau butuh uang cepat, mau tak mau dijual ke mereka. Kadang harga tinggi, kadang turun. Kami tak bisa menawar,” ujar Hartati, Sekretaris Desa Muara Kumbang, Jumat (20/09/25).

Setiap tahun, dua hingga tiga kali musim panen membawa cerita yang sama, petani bekerja keras, namun hasil keringatnya ditentukan orang lain.
Saat panen raya, ketika gabah melimpah, harga justru cenderung jatuh. Petani kerap tak punya pilihan selain melepas hasil panen dengan harga rendah, karena kebutuhan mendesak menunggu di rumah.
Faktor penyebabnya berlapis, kualitas padi yang beragam, permainan harga dari tengkulak, hingga absennya standar harga yang jelas. Akses pasar langsung bagi petani juga masih minim.
“Kami hanya bisa berharap harga bagus, tapi itu nasib. Tidak ada kepastian,” tambah Hartati.
Begitulah siklus yang diwariskan dari satu musim ke musim berikutnya. Sawah tetap digarap, padi tetap ditanam, panen tetap berlangsung. Namun, ketidakpastian harga terus menghantui.
Di Desa Muara Kumbang, kerja keras para petani selalu berjalan beriringan dengan rasa pasrah pada permainan pasar. **