Scroll untuk baca artikel
ArtikelBeritaHukum & KriminalNasionalOpiniPalembangPendidikanSumselViral

Tragedi Kuburan Cina Palembang: Jerat Hukum Empat Remaja dan Polemik Kekerasan Seksual

×

Tragedi Kuburan Cina Palembang: Jerat Hukum Empat Remaja dan Polemik Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini
Dr. Derry Angling Kesuma, SH, MHum. (Dok.Tribunepos.umbaran.com)
Oleh: Dr. Derry Angling Kesuma, SH, MHum
Penulis adalah Pakar Hukum, Fraktisi, Pengamat, Advokat dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Palembang

SEBUAH TRAGEDI di kuburan Cina Palembang, Sumatera Selatan mencuat ke permukaan, mengguncang nurani publik setelah viral di media sosial.

Empat remaja terlibat dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di lokasi tersebut, dengan korban yang tak berdaya menghadapi kebengisan mereka.

Keempat pelaku, berinisial IS (16), MZ (13), NS (12), dan AS (12), kini berada dalam pengawasan Polrestabes Palembang.

Namun, yang memantik sorotan lebih luas adalah bagaimana proses hukum menempatkan tiga dari empat pelaku, yang masih di bawah umur, dalam jalur rehabilitasi melalui Dinas Sosial alih-alih penahanan.

Pasal 1 ayat (2) UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum mencakup mereka yang menjadi pelaku, korban, atau saksi tindak pidana.

Kasus ini memperlihatkan betapa rumitnya hukum ketika berhadapan dengan pelaku anak di bawah umur.

Pada MZ, NS, dan AS, yang usianya belum mencapai 14 tahun, hukum pidana anak tidak mengizinkan penahanan, tetapi menawarkan opsi rehabilitasi.

Ini didasarkan pada Pasal 69 Ayat 2 UU SPPA, di mana anak yang berkonflik dengan hukum di bawah umur 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan, bukan penahanan.

Dalam kasus yang melibatkan anak, perbedaan perlakuan hukum antara pelaku anak dan dewasa terletak pada konsep keadilan restoratif yang lebih mengedepankan rehabilitasi daripada hukuman badan.

Hukum Indonesia sendiri, melalui UU SPPA, memberikan perlindungan khusus kepada anak agar proses peradilannya mempertimbangkan harkat dan martabat mereka sebagai individu yang belum matang secara mental.

Kompleksitas Penanganan Kasus Remaja

Namun, muncul pertanyaan: apakah upaya rehabilitasi cukup untuk menangani kasus sekeji ini?

Para pelaku, yang masih muda, dibentuk oleh lingkungan sosial yang keras.

Pakar menyebutkan, bahwa faktor akses mudah terhadap konten pornografi di media sosial, kurangnya pengawasan keluarga, hingga perilaku impulsif dengan kontrol diri yang rendah menjadi pemicu kekerasan seksual oleh anak.

Masyarakat pun mulai mempertanyakan peran keluarga dan lingkungan dalam mendidik moral generasi muda.

Psikolog anak, Ratna Hidayati, menyebutkan bahwa “orangtua perlu memberikan perhatian lebih pada perkembangan sosial-emosional anak, karena pondasi moral yang kuat sejak dini dapat menghindarkan mereka dari perilaku menyimpang.”

Namun, di sisi lain, pemerintah pun harus memperkuat regulasi terkait konten media sosial.

Maraknya akses terhadap konten yang tidak pantas memicu kekhawatiran bahwa teknologi bisa menjadi senjata dua mata yang membawa dampak negatif bagi perkembangan mental anak.

Mencari Jalan Keluar

Sistem hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU SPPA, mengedepankan perlindungan anak, namun juga harus menjawab tantangan bagaimana menyelaraskan perlindungan ini dengan keadilan bagi korban.

Kekerasan seksual, menurut definisi WHO, adalah tindakan yang menargetkan seksualitas seseorang tanpa persetujuan, dan hal ini, jika dilakukan oleh anak, tetap membawa beban psikologis yang mendalam bagi korban dan keluarganya.

Kekerasan seksual oleh anak juga sering kali merupakan rantai dari kekerasan sebelumnya—anak yang menjadi korban kemudian bisa tumbuh menjadi pelaku.

Faktor ini menggarisbawahi pentingnya peran negara dalam menegakkan pengawasan ketat terhadap konten digital yang dikonsumsi anak.

Kasus di Kuburan Cina Palembang ini tidak hanya menyisakan luka bagi korban, tetapi juga menjadi cermin buram dari masalah yang lebih besar.

Bagaimana kita sebagai masyarakat mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi realitas kehidupan dengan moralitas yang benar.

Kini, semuanya bergantung pada bagaimana sistem hukum, keluarga, dan masyarakat bekerja bersama untuk mencegah tragedi serupa terulang di masa depan.

Harapan untuk Masa Depan

Di tengah hiruk-pikuk kasus ini, harapan tetap ada bagi keempat pelaku remaja. Jika penanganan rehabilitasi berjalan efektif, mereka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk membentuk masa depan yang lebih baik.

Namun, ini harus diimbangi dengan pengawasan ketat serta peran keluarga yang lebih aktif dalam mendampingi perkembangan mereka.

Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat bahwa menjaga moral dan kontrol sosial terhadap anak-anak adalah tanggung jawab bersama.

Pada akhirnya, apa yang terjadi di Palembang hanyalah puncak gunung es dari permasalahan kompleks yang perlu perhatian mendalam, baik dari sisi hukum, sosial, maupun pendidikan moral.

Pertanyaan terbesar yang tersisa adalah: apakah kita siap untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi?. ***