Scroll untuk baca artikel
BeritaBerita UtamaHukum & KriminalKampusNasionalPendidikanSumsel

Yayasan Sjakhyakirti Palembang Diterpa Konflik, Tersandera Dinasti Keluarga dan Terguncang Kesewenangan Pribadi

×

Yayasan Sjakhyakirti Palembang Diterpa Konflik, Tersandera Dinasti Keluarga dan Terguncang Kesewenangan Pribadi

Sebarkan artikel ini
Febi Irianto SH kuasa hukum Bahari, Ketua Pengurus YPSP periode 2021–2026, diberhentikan secara sepihak oleh Ketua Pembina Yayasan melalui rapat pembina yang digelar pada 10 Agustus 2024. Kini kasusnya di bawa ke ranah hukum. -Tribunepos.umbaran.com

PALEMBANG, TRIBUNEPOS.COM – Konflik internal di tubuh Yayasan Perguruan Sjakhyakirti Palembang (YPSP) mencuat ke permukaan dan mengundang perhatian publik luas.

Yayasan yang lahir pada 1 April 1953 sebagai pelopor perguruan tinggi tertua di Sumatera Selatan, kini diterpa persoalan serius terkait tuduhan nepotisme kelompok keluarga yang mengancam kredibilitas dan profesionalisme pengelolaannya.

YPSP awalnya berdiri didirikan oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Dr. Abdul Hakim, Djaksa Abdul Halim, Muara Lumbang Tobing, dan Lim Tjong Hian, yayasan ini lahir dari semangat gotong royong antara akademisi, praktisi, dan birokrasi, sebagai bagian dari perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan cita-cita pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, dinamika internal yayasan yang didominasi oleh konflik kepentingan pribadi dan kelompok keluarga kini menodai warisan luhur tersebut.

Polemik bermula pada 2021 ketika struktur organisasi yayasan mengalami perombakan besar. Posisi strategis seperti Ketua Pembina, Ketua Umum Pengurus, dan Ketua Pengawas mulai didominasi oleh individu-individu dengan hubungan keluarga sedarah.

Kondisi ini memicu keresahan, terutama di kalangan pengurus lama yang merasa pengelolaan yayasan telah bergeser dari visi kolektif ke arah kepentingan pribadi dan kelompok keluarga.

Krisis ini mencuat setelah Bahari, Ketua Pengurus YPSP periode 2021–2026, diberhentikan secara sepihak oleh Ketua Pembina Yayasan melalui rapat pembina yang digelar pada 10 Agustus 2024.

“Kami melihat yayasan yang harusnya untuk kepentingan publik malah berubah menjadi sarat nepotisme,” ungkap Bahari, Ketua Pengurus YPSP periode 2021–2026, yang kini menggugat pemberhentiannya secara sepihak.
Advokat Febi Irianto, SH. -Dok. Tribunepos.umbaran.com

Bahari, melalui kuasa hukumnya, Febi Irianto SH dan Darul Makmun SH, menuding pemberhentian tersebut cacat hukum.

Ia menambahkan, rapat tersebut tidak memenuhi ketentuan Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD/ART) yayasan yang mengharuskan keputusan diambil dengan kehadiran minimal dua per tiga pembina. Meski demikian, hasil rapat tetap disahkan melalui Akta Pernyataan Keputusan Rapat Pembina Nomor 014 pada 14 Agustus 2024 di hadapan Notaris SA.

“Rapat pembina dilaksanakan dalam kondisi tidak kuorum. Hanya tiga dari sembilan pembina yang hadir, namun hasil rapat tetap dijadikan dasar keputusan,” ujar Febi, Sabtu (21/12/24).

Akta ini kemudian mendapatkan pengesahan dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM melalui Surat Nomor AHU-AH-01.06-0047532, tertanggal 16 Agustus 2024. Pengesahan tersebut dinilai semakin menguatkan kesewenangan yang dilakukan oleh Ketua Pembina.

“Keputusan yang diambil dalam rapat tersebut jelas melanggar aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yayasan. Prosedur yang digunakan penuh manipulasi, sementara notaris yang terlibat tidak menerapkan prinsip kehati-hatian,” tegas Febi Irianto, kuasa hukum Bahari.

Namun, Febi menilai notaris SA lalai menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyusunan akta tersebut.

“Ada indikasi tindakan melawan hukum dalam proses ini. Kami menduga keputusan itu dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kebaikan yayasan,” tambah Febi.

Febi menambahkan, gugatan kliennya bukan hanya soal pembatalan akta, melainkan untuk mengungkap rangkaian tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum pembina yang dianggap merusak legalitas dan integritas yayasan.

“Tujuan kami untuk mengembalikan yayasan ke jalur profesional, sesuai dengan cita-cita luhur pendirinya,” jelas Febi.

Ia menegaskan bahwa yayasan bukanlah milik perseorangan atau kelompok tertentu, apalagi diwariskan secara turun-temurun.

“YPSP didirikan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan segelintir keluarga. Kami berharap pemerintah turun tangan jika polemik ini terus berlarut,” ujarnya.

Sebagai lembaga pendidikan yang pernah menjadi ikon Sumatera Selatan, YPSP diharapkan mampu kembali fokus pada tujuan mulianya.

Berbagai pihak termasuk alumni dan akademisi menyerukan agar konflik ini diselesaikan dengan pendekatan hukum yang adil dan transparan, tanpa mengorbankan reputasi dan masa depan yayasan.

Mereka mendesak agar yayasan dikembalikan ke jalur profesionalisme sesuai dengan cita-cita awal pendiriannya.

“Ini bukan hanya soal kepentingan individu atau kelompok tertentu, tetapi tentang masa depan pendidikan di Sumatera Selatan. Profesionalisme dalam pengelolaan yayasan harus menjadi prioritas,” ujar salah satu akademisi yang enggan disebutkan namanya.
“Jika yayasan ini terus dikelola dengan cara seperti ini, bagaimana mungkin ia bisa bersaing dengan perguruan tinggi negeri?” tambahnya.

Para pengamat pendidikan menyerukan pemerintah untuk turut serta menyelesaikan polemik ini. Menurut mereka, keberadaan yayasan seperti Sjakhyakirti adalah aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia di Sumatera Selatan. Jika konflik dibiarkan, dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat luas.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Ketua Pembina maupun Notaris SA belum memberikan tanggapan resmi atas tuduhan yang dilayangkan.

Namun, beberapa pihak yang dekat dengan yayasan membenarkan adanya ketegangan internal dan berharap pemerintah turun tangan untuk menengahi konflik ini.

Masyarakat kini menanti langkah konkret yang akan diambil oleh pihak terkait untuk menyelamatkan Yayasan Perguruan Sjakhyakirti Palembang dari keterpurukan. **

“TribunePos: Bicara Fakta, Menginspirasi Bangsa”