TRIBUNEPOS, SERANG – Dua terdakwa kasus pengeroyokan yang menewaskan warga Cilegon, Welmi Teiwiland (43), akhirnya dijatuhi vonis pidana penjara.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Serang, Selasa, 28 Mei 2025, majelis hakim memutuskan menghukum Bripka Julianto Sitorus—anggota Polda Banten—dan rekannya, seorang warga sipil bernama Bayu Anggara, masing-masing 11 tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama sebelas tahun,” kata hakim ketua Dessy Darmayanti, membacakan amar putusan yang dikutip dari laman resmi Direktori Putusan Mahkamah Agung.
Putusan ini satu tahun lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Cilegon yang menuntut keduanya dengan hukuman 12 tahun penjara.
Majelis hakim menyatakan, perbuatan Julianto dan Bayu terbukti secara sah dan meyakinkan telah mengakibatkan kematian korban. Terlebih, posisi Julianto sebagai aparat kepolisian aktif justru memperberat bobot kesalahannya.
“Seharusnya ia menjadi pelindung masyarakat, bukan pelaku kekerasan,” kata hakim.
Sementara Bayu dinilai tidak kooperatif selama persidangan dan memberikan keterangan yang berbelit-belit. Meski demikian, keduanya memperoleh pertimbangan yang meringankan, karena belum pernah dihukum dan masih memiliki tanggungan keluarga.
Pesta Maut di Lapo
Tragedi berdarah ini bermula dari malam panjang yang dihabiskan dengan alkohol dan karaoke.
Pada 27 Oktober 2024, sekitar pukul 04.45 dini hari, Bayu dan Julianto sedang berpesta di Lapo Hendrik, sebuah tempat hiburan malam di Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Cilegon. Mereka ditemani empat ladies companion (LC).
Saat keluar dari tempat karaoke, rombongan Bayu dan Julianto bersamaan dengan korban Welmi dan dua rekannya. Ketegangan mulai memanas ketika Orvil—teman Welmi—berteriak memanggil dua LC untuk pulang. Bayu, yang mengira teriakan itu ditujukan padanya, langsung tersulut emosi.
Ia menghampiri Orvil dan terlibat cekcok. Di tengah kekacauan, Welmi mencoba melerai. Namun niat baik itu justru dibalas dengan pukulan. Bayu memukul lebih dulu, lalu Julianto datang dan ikut menghajar Welmi hingga babak belur.
Korban sempat dilarikan ke Puskesmas Merak, kemudian dirujuk ke RSKM Cilegon. Namun, nyawanya tak tertolong. Esok harinya, Welmi dinyatakan meninggal dunia.
Kasus ini sempat menyedot perhatian publik, terlebih karena salah satu pelaku merupakan anggota polisi aktif. Desakan agar pelaku diadili secara transparan datang dari berbagai kalangan, termasuk pegiat hak asasi manusia.
Dengan vonis ini, setidaknya lembar keadilan telah mulai dibuka. Tapi seperti luka yang belum sembuh, pertanyaan tentang integritas dan kekerasan oleh aparat masih terus menggantung di udara. **